BAMBANG SETIYADI
2 DB 16
38111303
Salah satu fungsi utama dari keberadaan militer di suatu negara adalah
untuk mengisi peran pertahanan dan menjaga kedaulatan wilayah. Berada
tepat di tengah dua samudera dan dua benua, Indonesia merupakan negara
yang sarat akan ancaman. Berbentuk negara kepulauan terbesar, Indonesia
pula merupakan negara yang sebagian besar celah pertahanannya berada di
kawasan lautan. Bagaimanakah perbandingan kekuatan militer Indonesia
dengan negara-negara tetangga? Berikut ulasan yang diambil dari situs
Global Fire Power 2012 untuk memberikan gambaran perbandingan kekuatan
militer di tingkat regional.
Beberapa Indikator Kekuatan Militer
Kekuatan militer (fire power) meliputi segala aspek alat negara dan
sumber daya yang terdapat di suatu negara yang dapat difungsikan dengan
segera untuk keperluan perang. Perangkingan kekuatan militer yang
dilakukan oleh Global Fire Power (GFP) berdasarkan penilaian atas
sejumlah indikator kekuatan militer, yaitu:
1. Personil
2. Sistem Persenjataan (Alutsista)
3. Kekuatan Maritim
4. Kekuatan Logistik
5. Sumber Daya Alam
6. Kekuatan Geografis
7. Kekuatan Keuangan (Finansial)
8. Lain-lain (Pendukung)
Masing-masing indikator memiliki beberapa sub indikator yang akan
membentuk kekuatan inti pertempuran. Cukup menarik, kekuatan maritim
dipisahkan dari kekuatan alutsista (poin nomor 2). Hal ini sebenarnya
berkaitan dengan latar belakang politik pertahanan di suatu negara
berupa ofensif atau defensif di mana seluruh permukaan bumi lebih banyak
diliputi oleh wilayah perairan. Strategi militer dan pertahanan
nantinya akan mengkombinasikan keseluruhan unsur (indikator) tersebut
untuk menjadi sebuah kekuatan untuk mendukung sikap politik, termasuk
apabila diputuskan untuk menyatakan perang dengan negara lain.
Dalam doktrin Hankamrata disebutkan apabila salah satu bentuk ancaman
atas kedaulatan wilayah akan memperhitungkan dari ancaman regional atau
ancaman kawasan. Indonesia terletak di kawasan Asia Tenggara yang
berdampingan pula dengan Australia. Dalam hal ini, setidaknya terdapat 5
negara yang berpotensi menjadi ancaman kedaulatan, yaitu Australia,
Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Hal ini berdasarkan pada
fakta apabila Indonesia masih memiliki masalah berupa persengketaan
perbatasan dengan dengan negara-negara tetangga. Persengketaan
perbatasan akan sangat memungkinkan untuk memicu terjadinya pergesekan
(di perbatasan) yang dapat memicu terjadinya perang.
Dari 8 kekuatan kunci militer suatu negara, kemudian dibuatkan menjadi 8
unsur yang secara langsung akan berpengaruh terhadap keputusan perang,
yaitu:
1. Kekuatan Personil
2. Kekuatan Udara
3. Kekuatan Darat
4. Kekuatan Laut
5. Kekuatan Logistik
6. Kekuatan Sumber Daya Alam
7. Kekuatan Finansial
8. Keunggulan Geografis
Kekuatan udara, laut, dan darat sudah mulai diuraikan, karena akan
berperan dalam pengembilan keputusan dan strategi militer dalam jangka
pendek (menjelang perang). Perbandingan kekuatan militer yang akan
diulas berikut ini berdasarkan 8 kekuatan kunci militer yang berperan
dalam pengambilan keputusan perang.
Kekuatan Personil (Personnel)
Dengan dukungan jumlah penduduk yang paling besar, Indonesia nampaknya
cukup unggul untuk menopang kekuatan personil. Hal ini terlihat di
seluruh sub personil berselisih cukup signifikan dengan negara-negara
tetangga. Indonesia masih memiliki peluang yang cukup besar untuk
mewujudkan bentuk perang gerilya, termasuk pertempuran kota, apabila
pertahanan terluar berhasil ditembus dan dikuasai musuh.
Kekuatan Udara (Air Power)
Ada 3 sub kekuatan udara, yaitu total pesawat militer (seluruh jenis
pesawat militer), jumlah helikopter, dan lapangan udara. Berdasarkan
banyak pesawat militer, Thailand terlihat lebih unggul dengan jumlah
pesawat militer yang mencapai 913 unit. Thailand pun cukup unggul untuk
jumlah helikopter yang paling banyak, yaitu 443 unit. Indonesia bisa
dikatakan cukup unggul dengan memiliki lebih banyak lapangan udara yang
berfungsi sebagai pangkalan militer atau dapat difungsikan menjadi
pangkalan militer. Deskrispi mengenai kekuatan udara masih terlalu
abstrak, karena pesawat militer itu sendiri terdiri atas pesawat tempur,
pesawat pembom atau pesawat terpedo, pesawat pengintai, dan pesawat
transport. Indikator yang dituliskan pun masih memungkinkan bias dalam
memberikan gambaran kekuatan udara.
Kekuatan Darat (Land Army)
Ada 10 kunci dalam mengukur/mengetahui (potensi) kekuatan darat dalam
suatu pertempuran. Di dalamnya berisikan keseluruhan bentuk sistem
persenjataan darat, termasuk kendaraan logistik. Keseluruhannya akan
sangat dibutuhkan dalam pertempuran darat yang akan menghadapi musuh
darat maupun musuh dari udara. Uniknya, Singapura yang merupakan negara
dengan luas wilayah paling kecil justru cukup dominan memiliki
unsur-unsur kekuatan darat, kecuali untuk kendaraan logistik (logistical
vehicles). Banyaknya kendaraan logistik yang dimiliki Australia
berkaitan dengan fungsi militer Australia yang sering dimanfaatkan untuk
pasukan perdamaian (PBB) dan tidak tertutup kemungkinan difungsingkan
untuk keperluan dukungan operasi ofensif. Indonesia yang memiliki banyak
pulau dengan total luas nomor dua setelah Australia justru terlihat
kurang serius memperkuat kekuatan darat. Lihat saja, sekalipun Malaysia
memiliki jumlah tank lebih sedikit dari Indonesia, tetapi Malaysia
memiliki senjata anti tank jauh lebih banyak dan lebih moderen.
Kekuatan Laut (Naval Power)
Kekuatan laut menjadi kunci atas setiap kemenangan pertempuran yang
menentukan jalannya sejarah. Ada 10 unsur yang membentuk kekuatan laut
menurut versi GFP seperti yang dilihat pada gambar di bawah. Sebagai
negara kepulauan terbesar dengan luas wilayah laut paling besar di Asia
Tenggara, Indonesia nampaknya justru tidak memiliki keunggulan yang
signifikan. Jumlah kapal pengangkut militer (merchant marine) masih di
bawah Singapura. Jumlah kapal militernya (total navy ships) pun masih
dibawah Thailand. Indikator di sini memang masih terlalu abstrak, karena
kekuatan kapal selam (submarines) Indonesia merupakan kapal perang
teknologi 1980 yang telah diremajakan. Lain ceritanya dengan kapal selam
milik Malaysia yang dibeli pada tahun 2000an. Filipina bisa dikatakan
cukup unggul dalam patroli laut/perairan dengan dukungan 128 kapal
patroli laut (patrol craft). Australia terlihat lebih unggul untuk
melakukan serangan laut jarak jauh dengan dukungan 12 kapal perang jenis
fregat dan 8 kapal pendaratan amfibi. Sekali lagi, angka-angka di atas
masih terlalu abstrak, karena saat ini sudah ada masuk kapal perang
generasi terbaru yagn seharusnya dipisahkan berdasarkan aspek
teknologinya.
Kekuatan Logistik (Logistical)
Kekuatan logistik yang dimasukkan ke dalam daftar berikut ini merupakan
segala bentuk sumber daya yang dengan segera dapat dipersiapkan untuk
mendukung pertempuran langsung. Indonesia bisa dikatakan memiliki
keunggulan dalam aspek kekuatan logistik dengan melihat banyaknya
angkatan kerja (labor force) yang paling tinggi. Panjang akses jalan
raya maupun kereta api tidak selalu signifikan ukuran yang terlihat,
karena tergantung dengan luas wilayah dan kondisi pulau atau kepulauan.
Dengan memiliki kekuatan angkatan kerja yang dapat difungsikan menjadi
militer atau paramiliter, setidaknya Indonesia masih akan memiliki
kekuatan untuk melakukan strategi gerilya dan perang perkotaan yang
paling sulit, ketika musuh telah masuk menembus ruang wilayah pertahanan
di daratan.
Kekuatan Sumber Daya Alam (Resources)
Setiap pertempuran akan membutuhkan sumber daya alam (energi), terutama
untuk keperluan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Situasi perang akan
menyebabkan orientasi pemenuhan kebutuhan energi bagi masyarakat sipil
akan dialihkan untuk keperluan militer. Di sinilah salah satu kunci
kekuatan dalam pertempuran, yaitu kekuatan negara dalam menguasai sumber
daya alamnya. Australia terlihat memiliki keunggulan dari aspek
penguasaan sumber daya alam. Dengan cadangan minyak bumi (proven
reserves) sebanyak 3,3 miliar barel dan jumlah penduduk sekitar 22 juta
jiwa, Australia masih memungkinkan bertahan cukup lama dalam kondisi
perang dengan ketersediaan minyak di dalam negerinya. Sekalipun
Indonesia dikatakan memiliki paling banyak cadangan minyak, tetapi
jumlah penduduknya pun cukup besar, yaitu mencapai di atas 240 juta jiwa
dengan konsumsi per hari di atas 1 juta barel. Data mengenai minyak
bumi di sini tidak sepenuhnya valid, tetapi setidaknya menggambarkan
kemampuan bertahan suatu negara dalam kondisi perang.
Kekuatan Finansial (Financial)
Perang ataupun persiapannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, serta
membutuhkan kemampuan pengelolaan keuangan nasional yang memadai. Ada 3
unsur di dalam kekuatan finansial, yaitu anggaran pertahanan (defense
budget), cadangan devisa dan emas (reserve of foreign exchange and
gold), dan kemampuan pembayaran (purchasing power). Unsur yang paling
perlu dipehatikan adalah cadangan devisa dan belanja pertahanan. Dari
dua unsur tadi, Singapura lebih unggul dengan memiliki cadangan devisa
maupun belanja pertahanan paling besar. Ini berarti Singapura memiliki
peluang lebih besar untuk mempersiapkan suatu perang ataupun membiayai
peperangan. Indonesia memiliki kemampuan pembelian paling besar di
antara negara-negara yang diperbandingkan di sini. Ini berarti, dari
sisi finansial, Indonesia memiliki peluang yang paling besar untuk
mentransformasikan aset-aset ekonominya dalam membiayai dan
mempersiapkan perang. Sekalipun demikian, kemampuan pembelian
membutuhkan waktu dan mekanisme politik yang tidak semudah mentransfer
pembiayaan seperti pada cadangan devisa dan belanja pertahanan.
Keunggulan Geografis (Geographic)
Salah satu kekuatan militer yang dibutuhkan dalam peperangan adalah
keunggulan geografis. Keunggulan tersebut dapat menjadi celah pertahanan
atau sebaliknya dimanfaatkan menjadi basis pertahanan. Sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, Indonesia lebih unggul dalam memiliki luas
wilayah perairan (waterways) dan garis pantai (coastline). Auastralia di
sini terlihat memiliki luas wilayah daratan paling besar yang berarti
dapat dimanfaatkan pula sebagai matra pertahanan di dalam negeri. Adapun
di sini ada 3 negara yang memiliki kawasan perbatasan daratan (shared
border), yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Data kekuatan militer yang dirilis oleh GFP diambil berdasarkan data
yang dihimpun oleh CIA Fact and Statistic. Masih terlalu abstrak untuk
dapat diketahui gambaran kekuatan yang kongkrit, karena hanya berbasis
pada pendekatan kuantitatif. Segala unsur yang membentuk kekuatan
militer di suatu negara bukan hanya mengenai aspek kuantitatifnya,
melainkan aspek kualitatif. Misalnya, untuk alat utama sistem
persenjataan (alutsista) atau weapon system saat ini sudah berkembang
teknologi yang masing-masing terbagi ke dalam periode 10-15 tahun (1
generasi). Masalah lain mengenai keakuratan data misalnya pada kelompok
helikopter yang saat ini sudah terbagi ke dalam beberapa fungsi, seperti
helikopter angkut logistik/pasukan dan helikopter serang. Fakta lain
yang tidak bisa diabaikan pula adalah pengalaman perang di masa lalu
yang membentuk cara berpikir dalam membangun strategi militer di saat
yang paling mendesak.
Peluang Indonesia
Berdasarkan data di atas, jika terjadi perang dalam waktu dekat dengan
negara terbesar di tingkat regional, peluang Indonesia bisa dikatakan
kecil untuk bisa bertahan dalam 1 minggu pertama pertempuran. Indonesia
memiliki celah yang paling lebar di bagian perairan laut. Dengan
mengandalkan kapal patroli sebanyak 31 unit tidak akan cukup apabila
tidak didukung oleh kekuatan udara yang memadai. Jumlah kapal fregatnya
pun hanya ada 6 unit yang mungkin siap untuk diterjunkan ke dalam
pertempuran langsung. Tetapi jumlah kapal fregat tersebut masih jauh di
bawah ideal apabila serangan masuk dari berbagai penjuru perbatasan
laut. Banyaknya kapal pengangkut militer (merchant marine)
sebanyak 1.244 unit (peringkat ketiga) mungkin akan cukup membantu
mobilisasi alutsista darat. Keuntungan Indonesia terletak pada kondisi
geografisnya yang terdiri atas banyak pulau-pulau besar, sedang, dan
kecil. Butuh biaya dan sumber daya yang cukup besar apabila hendak
meredam pertempuran dengan Indonesia.
Australia
Australia sebenarnya bukanlah ancaman yang serius, tetapi negara ini
dianggap paling siap untuk melakukan konfrontasi (perang) langsung
dengan Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga lainnya. Dilihat
dari data kekuatan militer di atas, jika pun harus berperang dengan
Indonesia, Australia tidak mungkin bisa menguasai seluruh wilayah
(pulau), melainkan hanya diprioritaskan untuk menguasai pulau-pulau
strategis seperti Pulau Jawa dan Papua. Untuk itu saja, Australia akan
menghadapi risiko hilangnya sebagian besar pertahanan di dalam negerinya
sendiri. Australia pula tidak akan mengambil risiko dengan mengorbankan
seluruh warganya yang siap tempur (manpower fit for service) untuk
terjun dalam pertempuran dengan Indonesia. Hanya tersedia sekitar 10
juta personil militer saja tidak akan cukup untuk bisa meredam 129 juta
personil militer ataupun tambahan paramiliter apabila terjadi perang
gerilya. Dalam sejarah, Australia belum pernah berkonfrontasi sendirian
dengan Indonesia. Terakhir kali Australia membantu dalam konfrontasi
Indonesia-Malaysia, tetapi itu pun dengan keterlibatan Inggris. Di tahun
1999 lalu, keterlibatan Australia di Timtim (sekarang Timor Leste) itu
pun berada dibalik jubah pasukan perdamaian (UN) yang tentu pula
disokong oleh Amerika dan Inggris. Artinya, jika saja posisinya terancam
untuk mengambil keputusan perang dengan Indonesia, Australia tidak akan
sendirian untuk menghadapi Indonesia.
Malaysia
Dalam sejarah, Malaysia belum pernah melakukan pertempuran head to head
dengan Indonesia, tanpa keterlibatan negara lain. Konfrontasi dengan
Indonesia di era Soekarno, Malaysia secara terbuka dibantu oleh Inggris
dan Australia. Di atas kertas, berdasarkan data yang dirilis oleh GFP di
atas, Malaysia pun tidak memiliki superioritas di bidang apapun untuk
berperang dengan Indonesia. Malaysia mungkin hanya unggul dalam beberapa
hari pertempuran yang kurang dari seminggu. Untuk menguasai Indonesia
setidaknya akan membutuhkan waktu lebih dari 1 bulan pertempuran
langsung. Persoalan lainnya mengenai masalah kesamaan etnis Melayu yang
secara psikologis akan berpengaruh terhadap jalannya pertempuran. Jika
pun harus berperang dengan Indonesia, Malaysia tidak akan sendirian
menghadapi Indonesia. Sekalipun demikian, Malaysia bisa jadi adalah
pemicu untuk masuknya pertempuran besar yang melibatkan banyak negara.
Singapura
Singapura termasuk negara kecil di kawasan Asia Tenggara, tetapi bisa
dikatakan memiliki kekuatan alutsista yang cukup memadai untuk
peperangan. Negara yang terkenal dengan patung singa tersebut memiliki
superioritas dalam kekuatan darat (land army) dan didukung oleh
kekuatan finansialnya. Singapura termasuk unggul dalam teknologi seperti
pada kekuatan udara dan laut. Tahun depan, sebanyak 2 skadron F-35 akan
memperkuat kekuatan udara Singapura. Sekalipun demikian, dengan
ketersediaan jumlah personil yang paling sedikit, sangat diragukan
seluruhnya sistem persenjataan tersebut akan digunakan untuk menghadapi
Indonesia. Dalam hal ini, besar kemungkinan Singapura yang masuk ke
dalam kelompok persemakmuran Inggris akan dimanfaatkan oleh pihak lain
dalam melakukan pertempuran terbuka dengan Indonesia.
Thailand
Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang saat ini masih mengoperasikan kapal induk (aircraft carrier).
Sekalipun sudah berusia tua, tetapi pihak GFP masih mencatat kapal
induk tersebut berstatus aktif di mana di atasnya mengusung jenis
penyerang taktis seperti Super Entendart (buatan Perancis). Thailand
sebenarnya tidak memiliki sejarah konflik tertentu dengan Indonesia,
kecuali hanya masalah perbatasan perairan. Tetapi Thailand pernah
bergabung ke dalam pakta pertahanan Asia Tenggara, yaitu SEATO yang
didalamnya berisikan nama-nama negara Asia Tenggara (minus Indonesia)
dan Australia. Saat ini, Thailand bisa dikatakan cukup tergantung atau
punya kepentingan ekonomi dengan Indonesia, terutama untuk memasok bahan
baku industri dan komponen. Indonesia pula adalah pasar bagi industri
Thailand, sehingga tidak tertutup kemungkinan jika di masa mendatang
akan beraliansi kembali dengan pakta pertahanan untuk menghadapi
Indonesia.
Filipina
Indonesia sebenarnya masih memiliki beberapa sengketa perbatasan
perairan dengan Filipina. Sekalipun demikian, Filipina lebih banyak
mempersoalkan garis batas perairan dengan China, ketimbang Indonesia.
Sejarah Filipina sendiri relatif cukup baik hubungannya dengan
Indonesia, bahkan di masa Soekarno. Di antara negara-neagra tetangga
yang telah disebutkan sebelumnya, Filipina relatif memiliki ancaman yang
sangat kecil dengan Indonesia. Filipina pula sebenarnya turut
bersengketa perbatasan perairan dengan Malaysia yang lokasinya tidak
berjauhan dengan perbatasan perairan Indonesia. Jika melihat data
kekuatan militer Filipina yang dirilis oleh GFP, Filipina termasuk
unggul dalam kekuatan personil (setelah Indonesia). Tetapi negara ini
sangat tidak memungkinkan untuk melakukan konfrontasi terbuka dengan
Indonesia. Melihat kondisi perekonomiannya Filipina saat ini, akan
terbuka kemungkinan negara ini mungkin akan berafiliasi dengan sebuah
kekuatan besar untuk menghadapi Indonesia. Seperti kejadian di masa lalu
dengan menjadikan negaranya sebagai basis pangkalan militer.
Kemungkinan Perang Terbuka
Dengan segala kemungkinan dan potensi kekuatan militer, hanya ada 3
negara yang punya peluang besar untuk perang dengan Indonesia, yaitu
Amerika Serikat, China, dan Rusia. Mereka bukan saja diunggulkan oleh
unsur-unsur kekuatan militer, tetapi didukung pula oleh segala
kemungkinan sumber daya ekonomi di dalam negerinya. Butuh waktu
berbulan-bulan lamanya untuk bisa menaklukkan NKRI melalui perang
terbuka, jika dilakukan dalam waktu dekat. Indonesia dengan
karakteristik kepulauannya memiliki keunggulan dari aspek pertahanan,
terutama apabila dilakukan metode perang gerilya. Untuk hanya
menaklukkan Irak yang dibantu Inggris dan sekutunya, Amerika Serikat
harus menanggung kerugian ekonomi yang cukup lama di dalam negerinya.
Opsi perang terbuka hampir tidak mungkin akan terealisasi dengan
Indonesia. Strategi pertempuran moderen saat ini sudah mulai bergeser
dari model perang fisik ke perang politik dan intelijen. Mereka akan
cenderung menggunakan kekuatan politik luar negerinya untuk menguasai
pejabat publik, partai politik, akademisi, institusi jurnalistik, maupun
institusi sosial guna mengamankan kepentingan mereka di Asia Tenggara.
Bentuk perang moderen lainnya bisa berupa dengan klaim budaya seperti
yang belum lama ini dilakukan oleh Malaysia. Transisi budaya dan cara
berpikir pun sebenarnya merupakan bentuk perang moderen yang bertujuan
untuk menghilangkan identitas budaya nasional. Masih banyak bentuk
perang moderen yang melibatkan organisasi intelijen internasional untuk
masuk ke dalam sistem politik dan pemerintahan maupun ke dalam sistem
sosial dan kemasyarakatan.
Daftar Istilah
Land weapon = persenjataan darat
APC = Armored Personnel Carrier = Kendaraan pengangkut personil
IFV = Infantry Fighting Vehicle = Kendaraan tempur pengangkut personil
Self-Propelled Gun = Semacam howitzer atau kendaraan dengan meriam besar
MLRS = Multiple-Lauch Rocket System = Kendaraan peluncur roket http://tradizional.blogspot.com/2012/11/perbandingan-kekuatan-militer-indonesia.html
Kamis, 09 Mei 2013
Bagaimana sistem ketahanan nasional pada masa orde baru dan reformasi
BAMBANG SETIYADI
38111303
2 DB 16
TULISAN
I. PENDAHULUAN
Kepemimpinan Nasional dan Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang tidak hanya saling terkait tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain. Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu sisi akan berdampak kepada meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu ketahanan nasional yang mantap pada sisi lain akan makin memperkokoh kepemimpinan nasional suatu bangsa. Sebaliknya, tanpa kepemimpinan yang baik dalam pengelolaan sebuah negara, terutama Indonesia sebagai bangsa yang multi etnis dengan kondisi geografis wilayah negara yang berbentuk kepulauan, negeri ini amat rentan terhadap guncangan sosial dan politik yang dapat berujung kepada perpecahan dan disintegrasi bangsa. Ketahanan nasional yang tinggi juga berpengaruh kuat terhadap terwujudnya kepemimpinan nasional yang kuat, dapat menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan secara efektif dalam mengelola pemerintahan negara. Keduanya, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, saling mendukung dan saling terimbas.
Sejak kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 hingga saat ini, rezim pemerintahan negara telah berganti beberapa kali, yang dapat dikelompokan dalam tiga fase atau orde. Setiap penguasa dengan episode-nya masing-masing memiliki karakteristik dan gaya pemerintahan yang unik dan berbeda. Orde Lama yang dikomandani Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno, dengan pola pemerintahan nasionalistik-universal yang didasari oleh suasana batin penolakan imprealisme-kolonialisme (gaya lama maupun gaya baru, neokolonialisme) cukup berhasil menyatukan bangsa Indonesia dalam sebuah negara dan menciptakan ketahanan nasional yang cukup baik. Bahkan, pada saat Indonesia masih sangat belia itu, Soekarno dengan gemilang merebut dan mempertahankan Irian Barat berintegrasi ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Jika jalan sejarah tidak berubah yang dipicu oleh tragedi politik berdarah di tahun 1965, beberapa bagian wilayah lainnya di seputaran nusantara, seperti Serawak di utara Kalimantan, Timor-Timur, bahkan Papua Nugini dan Semenanjung Malaysia dapat ditaklukan untuk diintegrasikan kedalam wilayah Indonesia dan menjadikannya bagian integral bangsa Indonesia oleh penguasa saat itu.
Masa pemerintahan Soekarno tidaklah luput dari berbagai persoalan dan rongrongan yang mengarah kepada bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemberontakan demi pemberontakan terjadi di beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Upaya pecah-belah negara yang baru terbentuk inipun juga telah dilakukan secara “legal” melalui pembentukan negara-negara kecil di nusantara yang menyatu dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Namun, kepemimpinan Orde Lama dengan gaya khas seorang orator dan diplomat ulung, Soekarno dapat dipandang berhasil mempertahankan keutuhan NKRI melalui berbagai langkah strategis, baik kedalam negeri maupun ke tataran diplomasi internasional. Kondisi ketahanan nasional tetap terjaga hingga kepada pergantian rezim di tahun 1966/67.
Era Orde Lama berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Demikian juga terjadi dalam dunia pemerintahan negara Indonesia. Orde Baru, yang dimotori oleh Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, muncul dengan slogan barunya: “bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”. Kalimat sakti mandraguna tersebut telah berhasil menyihir seluruh lapisan masyarakat yang rindu dengan pemerintahan yang benar-benar berdasarkan konstitusi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam kehidupan bermasyarkat tetapi juga dalam sistim pemerintahan negara. Setidaknya, melalui sosialisasi jargon Orde Baru tersebut, rekatan persatuan dan kesatuan antar elemen masyarakat yang terdiri dari ratusan suku bangsa dapat lebih kuat sehingga mengurangi hayalan disintegrasi bangsa untuk sementara waktu.
Langkah pemerintahan Soeharto yang fokus kepada usaha pemenuhan kebutuhan pokok rakyat melalui program-program pembangunan lima tahunan, telah secara signifikan meningkatkan integrasi nasional yang semakin hari semakin kuat di antara sesama anak bangsa. Program asimiliasi dan perkawinan campuran antar suku dan etnis, termasuk di kalangan Tionghoa, telah membuka sekat-sekat perbedaan di antara berbagai komponen bangsa untuk bersatu, yang pada gilirannya dapat mempertinggi ketahanan nasional negara Indonesia. Program transmigrasi yang diperkirakan telah membaurkan puluhan juta penduduk etnis Jawa-Madura-Bali ke hampir semua komunitas di seantero nusantara juga menjadi salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan nasional di bawah kendali Soeharto dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka peningkatan ketahanan nasional.
Dalam mengatasi pergolakan bernuansa disitengrasi, pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan gaya militer-otoriteristik melalui berbagai strategi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bahkan untuk membasmi tindak kriminalitas dan premanisme, pimpinan nasional saat itu menerapkan pola penghilangan paksa ala militer melalui satuan khusus bawah tanah, petrus (penembak misterius) yang menghasilkan matius (mati misterius). Keberadaan Kopkamtib (Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Kantor Sosial Politik di daerah-daerah menjadi alat “pengamanan” yang difungsikan tidak hanya sebagai strategi preventif-represif tapi juga sebagai komponen petugas penindakan dan recovery terhadap tindakan yang mengarah kepada pengancaman ketahanan nasional. Di masa Orde Baru, tingkat stabilitas ketahanan nasional dikategorikan sangat mantap.
Orde Baru harus berakhir, digantikan dengan Orde Reformasi sejak 1998 dan masih berjalan hingga saat ini. Pada kurun waktu 13 tahun masa Reformasi ini, telah muncul silih berganti 4 presiden di republik ini, Baharuddin Jusuf Habibi, Abdul Rahman Wahid, Megawati Soekarnoputra, dan Susilo Bambang Yudhonono. Dalam kaitannya dengan ketahanan nasional, buah pahit era Orde Reformasi berupa lepasnya Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu gubernurnya Abilio Soares adalah alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau, Sipadan dan Ligitan ke wilayah kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan cerminan awal lemahnya kepemiminan nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan kepemimpinan nasional saat ini mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional dalam kaitannya dengan penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain, bagaimanakah efektivitas kepemimpinan nasional di era reformasi terhadap peningkatan ketahanan nasional? Persoalan utama ini tentunya amat menarik untuk dijadikan bahan kajian dan analisis dalam rangka menginspirasi setiap anak bangsa, teristimewa para pemimpin nasional, dalam mencari formula kepemimpinan nasional yang baik, efektif dan efisien di masa mendatang.
II. PEMBAHASAN
1. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan selalu menarik untuk dibahas. Teori yang menelaah tentang diskursus ini juga terus berkembang dan berevolusi. Dimulai dari topik kepemimpinan yang dikarenakan sifat-sifat yang telah dimiliki sejak lahir, gaya-gaya kepemimpinan, dan pembahasan tipe kepemimpinan yang sesuai dengan situasi-situasi tertentu, hingga ke pokok bahasan kepemimpinan yang dilihat dari bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain dan mampu membawa pengikutnya menghadapi perubahan dan berubah (Bolden et al., 2003). Secara umum, disepakati bersama bahwa seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan, keterampilan, dapat menganalisa informasi secara mendalam untuk mengambil suatu keputusan yang tepat, dia juga harus bisa melibatkan pihak-pihak yang tepat dalam proses pengambilan keputusan. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dapat menciptakan situasi yang menginspirasi para pengikutnya agar mencapai tujuan yang lebih baik dan lebih tinggi lagi dari keadaan sekarang. Pada kenyataannya seorang pemimpin yang efektif adalah orang yang mampu membaca situasi, mengatasi permasalahan, bertanggung-jawab, mau mengembangkan pengikutnya dan yang terpenting memiliki integritas dan etika yang baik, karena dia harus memberikan contoh atau bertindak sebagai panutan bagi pengikutnya.
Banyak pemikiran bermunculan mewarnai teori kepemimpinan, dan terus berkembang hingga sekarang. Berikut adalah perkembangannya mulai dari Great Man Theories, Trait Theories, Behaviourist Theories, Situational Leadership, Contingency Theory, dan Transactional Theory sampai dengan Transformational Theory atau kepemimpinan transformasional (Bolden et al. (2003). Transformational theory sebagai pendekatan yang paling terakhir berkembang, dimulai oleh James MacGregor Burns dengan bukunya ‘Leadership’. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional adalah suatu hubungan yang bersifat mutual dan menuju kearah peningkatan yang bisa merubah pengikut menjadi pemimpin dan dapat merubah pemimpin menjadi agen moral. Lebih lanjut Burns menyatakan kepemimpinan transformasional terjadi ketika satu orang atau lebih saling berinteraksi dimana mereka saling mempengaruhi sehingga baik si pemimpin dan sang pengikut mencapai tingkat motivasi dan moral yang lebih tinggi.
1.1. Kepemimpinan Transaksional dan Transfomasional
Pengembangan lebih lanjut oleh Stephen Covey (1992) dalam bukunya ‘Principle-Centred Leadership’ menyatakan perbedaan antara pemimpin transaksional dan pemimpin transformasional sebagai berikut:
Kepemimpinan Transaksional:
- Berdasarkan keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan;
- Dimulai dengan kekuatan, posisi dan politik;
- Berdasarkan kejadian sehari-hari;
- Pencapaian tujuan jangka pendek dan orientasi pada data yang nyata;
- Fokus pada masalah taktis;
- Mengandalkan hubungan yang baik untuk interaksi antar sesama;
- Memenuhi peran yang diharapkan melalui kerja yang efektif sesuai dengan system; dan
- Mendukung sistem dan struktur yang menghasilkan dan memaksimalkan efisiensi dan menjamin keuntungan dalam jangka pendek.
Kepemimpinan Transformasional:
- Berdasarkan kebutuhan seseorang untuk suatu arti;
- Dimulai dengan tujuan dan nilai-nilai, moral dan etika;
- Lebih dari (diatas) kejadian sehari-hari;
- Pencapaian tujuan jangka panjang tanpa mengkompromikan nilai-nilai dan prinsip;
- Fokus pada misi dan strategi;
- Mengarahkan potensi; identifikasi dan pengembangan sumber daya;
- Mendesain dan me-re-desain pekerjaan supaya menjadi lebih berarti dan menantang; dan
- Menyesuaikan struktur dan sistem internal untuk pencapaian nilai dan tujuan.
Covey menyatakan bahwa kedua tipe kepemimpinan di atas dibutuhkan. Kepemimpinan transaksional diperlukan sebagai model bagi banyak orang dan untuk organisasi yang stabil dan tidak memerlukan perubahan; sedangkan kepemimpinan transformasional diperlukan untuk menghadapi dan memfasilitasi perubahan (Bolden et al., 2003). Pada 1994, Bass dan avolio menyatakan bahwa pemimpin transformasional menunjukkan perilaku-perilaku yang berasosiasi dengan 5 gaya transformasi, yakni: Ideal Behaviour yang berpegang teguh pada idealism sang pemimpin; Inspirational Motivation, yang selalu menginspirasi orang lain; Intellectual Stimulation, yang senantiasa menstimulai orang lain; Individualized Consideration, yang berupaya melatih dan membangun orang lain; dan Idealized Attributes, yang menghargai, mempercayai dan meyakinkan orang lai. Kepemimpinan transformasional bersifat proaktif dalam berbagai macam dan caranya yang unik. Para pemimpin ini berusaha untuk mengoptimasikan pengembangan dan tidak hanya fokus pada kinerja saja, mereka juga mendorong rekan-rekannya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi termasuk juga pada peningkatan standar moral dan etika. Melalui pengembangan rekan-rekannya mereka yakin organisasinya juga akan otomatis berkembang.
1.2. Kepemimpinan Efektif dan Tidak Efektif
Pengembangan lebih lanjut dari teori kepemimpinan transformasional adalah oleh Hooper dan Potter (1997) yang mengidentifikasi tujuh kompetensi inti dari ‘transcendent leaders”; yaitu pemimpin yang mampu mengikat dukungan emosi dari para pengikutnya dan mampu dengan efektif melakukan perubahan yang transenden (Bolden et al., 2003): Menentukan tujuan, Memberikan contoh, Komunikasi, Melakukan harmonisasi, Mengeluarkan kemampuan terbaik dari pengikutnya, Menjadi agen perubahan, Memberikan keputusan di saat kritis dan kebingungan. Hamlin (2002) dalam Bolden et al,. 2003 mengajukan model generik untuk manajer dan kepemimpinan yang efektif berdasarkan analisa peta perilaku kepemimpinan dan manajemen di 4 organisasi sektor publik di UK; yang dibedakan menjadi indikator-indikator positif dan negatif:
Indikator Positif, meliputi:
1. Kemampuan berorganisasi yang efektif dan manajemen perencanaan;
2. Kepemimpinan partisipatif dan supportif, kepemimpinan tim proaktif;
3. Empowerment dan delegasi;
4. Memperhatikan keadaan, kebutuhan, dan perkembangan anggota;
5. Manajemen pendekatan terbuka dan personal; dan
6. Berkomunikasi dan berkonsultasi dengan semua pihak.
Indikator Negatif, meliputi:
1. Tidak memperhatikan pendapat sekitar (manajemen otokratik);
2. Tidak memperhatikan orang lain, tidak melayani, berperilaku mengintimidasi;
3. Membiarkan kinerja yang buruk dan standar yang rendah;
4. Menyerahkan peran dan tanggungjawabnya ke orang lain; dan
5. Menolak ide-ide baru.
Hamlin (2007) mendapatkan hasil yang mirip untuk kepemimpinan yang efektif, yakni:
Perilaku Positif (kepemimpinan efektif), meliputi:
- Menunjukkan perhatian kepada orang lain (rakyat), merespon terhadap kebutuhan mereka;
- Berkonsultasi dan melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan;
- Melakukan pertemuan dan komunikasi regular dengan seluruh elemen terkait untuk penentuan target, tujuan, pembagian tugas dan penilaian kinerja;
- Menghadapi permasalahan dengan penuh tanggung-jawab;
- Mendorong semua pihak (sektor swasta dan masyarakat) untuk bertindak dan bekerja atas inisiatifnya masing-masing;
- Mengakui kerja keras dan komitmen orang lain;
- Menggunakan informasi, pengetahuan dan pengalaman secara efektif untuk pengambilan keputusan;
- Manajemen perencanaan proyek yang efektif;
- Mencari cara peningkatan berkelanjutan di atas segala permasalahan dan hambatan yang ada;
- Selalu siap menghadapi permasalahan yang sulit dan sensitif;
- Menunjukkan semangat dan antusiasme yang tinggi;
- Menyampaikan pertanggung-jawaban kepada rakyat tentang apa yang sudah dilakukan secara periodik, transparan dan akuntabel;
- Gaya komunikasi yang langsung, terbuka, jujur;
- Mendidik, melatih dan mengembangkan kemandirian anggota masyarakat sesuai dengan pengalaman dan potensinya;
- Menunjukkan perilaku yang patut dicontoh; dan
- Mempertimbangkan akibat sebelum bertindak.
Perilaku Negatif (kepemimpinan tidak efektif), meliputi:
- Tidak menunjukkan komitmen dan perhatian terhadap orang lain (rakyat) dan tidak menghargai sumbangsih kerja mereka;
- Tidak melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan;
- Tidak bertanggung jawab, merasa memiliki atau akuntabel;
- Reaktif, fokus pada hal kecil bukan pada keseluruhan permasalahan;
- Membatalkan atau mengatur ulang rapat pada saat-saat terakhir;
- Bersikap emosional, irasional dan temperamental;
- Komunikasi yang tidak jelas atau membingungkan;
- Tidak berkomunikasi atau menguasai perubahan secara efektif;
- Gagal mencapai persetujuan atau mengklarifikasi harapan;
- Menunjukkan keengganan untuk berhadapan dengan konflik;
- Menunjukkan ketidakterbukaan dan fokus pada halangan-halangan;
- Membiarkan standar dan kinerja yang rendah; dan
- Persiapan atau perencanaan yang kurang.
2. Kepemimpinan Nasional di Era Reformasi
Negara Indonesia dibentuk dalam kerangka mencapai tujuan nasional Indonesia Merdeka yakni sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Hal tersebut tentunya harus dimaknai bahwa keberhasilan bangsa Indonesia sebagai suatu negara akan diukur dari seberapa jauh tingkat kemampuan Pemerintah bersama rakyatnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, aman, adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengorganisasian seluruh rakyat dan segala sumber daya yang tersedia amat penting dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dalam hal pengelolaan organisasi negara inilah, faktor kepemimpinan nasional amat menentukan.
Empatbelas tahun hampir tuntas sudah Indonesia menjalani babak baru pasca Orde Baru, yang kita sebut Orde Reformasi. Perubahan demi perubahan menjadi fenomena bangsa kita sejak kejatuhan Soeharto hingga memasuki masa tujuh-delapan tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Pada kurun waktu empatbelas tahun itu sesungguhnya rakyat sudah semestinya dapat menikmati hasil dari perubahan yang menjadi tuntutan jutaan mahasiswa dan masyarakat di akhir rezim Orde Baru tiga-belasan lalu. Namun, kenyataan mengindikasikan seakan-akan pemerintah Indonesia belum mampu membawa rakyatnya kepada kondisi yang diidamkan tersebut. Berbagai kasus yang terjadi silih berganti di hampir seluruh pelosok tanah air menjadi pertanda bahwa tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 belum tercapai, bahkan seakan tiada akan terwujud.
Irman Gusman mencatat bahwa belakangan ini terdapat berbagai persoalan yang menjadi menu keseharian rakyat Indonesia, mulai dari masalah makelar kasus, manipulasi pertanahan dan kisruh agraria di mana-mana, penegakan hukum yang hanya berpihak kepada kelompok tertentu, hingga penggelapan pajak triliunan rupiah adalah cerita miris yang menghimpit setiap nurani kita. Masih banyak kisah pilu lainnya yang mendera bangsa ini. Pemandangan penggusuran paksa, konflik-konflik bernuansa SARA, tawuran antar desa, antar sekolah, antar kampus, antar komunitas hingga ke persoalan separitisme Organisasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan lain-lain, masih menghiasi layar media massa kita hari-hari ini. Di lain waktu kita juga disugihi informasi tentang hingar-bingarnya pola hidup hedonis-materialistis dari sebagian masyarakat di tataran elit yang lebih beruntung nasibnya secara materil dari kebanyakan rakyat di negara ini. Belum lagi jika kita lihat secara vulgar strategi berpolitik para elit politik bangsa yang hampir seluruhnya menerapkan pola politik uang, sebuah kehidupan politik yang oleh sebagian pihak menyebutnya sebagai sistem penerapan demokrasi yang tidak manusiawi. Negeri ini sedang mengalami kerapuhan di segala bidang yang menjurus kepada perpecahan dan disintegrasi bangsa. (Irman Gusman, 2011).
Badan dan institusi negara bermunculan dibentuk pemerintah yang ditujukan untuk memperlancar penuntasan masalah dan berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya, diadakan sejak pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri untuk menangani perkara korupsi yang dikategorikan sebagai the extra-ordinary crime, yang telah menggurita secara luar biasa di berbagai lapisan masyarakat kita. Sebagaimana yang diketahui bersama, hingga saat ini KPK belum mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik, pejabat tinggi negara, maupun birokrat. Pada tataran yang lebih penting, mendesak, dan amat fundamental bagi rakyat, yakni menyangkut kehidupan sehari-hari rakyat, terlihat bahwa pemerintah masih kesulitan mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang semakin hari semakin membumbung tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Pangan seakan menjadi barang langka dan sulit diakses oleh masyarakat. Ketahanan pangan menjadi pertaruhan bagi kelangsungan hidup rakyat, yang sekaligus juga menjadi salah satu indikator penentu kuat-lemahnya ketahanan nasional Indonesia.
3. Ketahanan Nasional dan Efektivitas Kepemimpinan Nasional
Ketahanan Nasional Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya. Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Pendekatan yang semestinya ditempuh para pemimpin nasional dalam meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional adalah dengan kebijakan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat melalui pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi, pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat, serta kesehatan dan keamaan umum. Pada kondisi terpenuhinya hajat hidup orang banyak dengan mudah dan tersedia terjangkau setiap saat di semua tempat di nusantara, maka nasionalisme bangsa akan semakin menguat yang selanjutnya akan menjadi modal terbesar dalam mengeliminir keinginan disintegrasi bangsa.
Bercermin dari kondisi nyata di masyarakat Indonesia saat ini sebagaimana telah dituliskan di atas, dikaitkan dengan teori efektivitas kepemimpinan yang diuraikan di awal tadi, maka dengan sangat jelas terlihat bahwa pelaksanaan amanah rakyat oleh para pemimpin nasional, mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah, dapat dikategorikan belum mencapai efektivitas yang baik. Sikap dan perilaku kepemimpinan nasional yang kurang menunjukkan komitmen dan perhatian terhadap rakyat kecil dan termarginalkan oleh sistem kapitalisme, pendidikan yang dibiayai oleh 20% APBN namun semakin tidak terjangkau oleh rakyat pinggiran, akses kesehatan yang mahal, serta harga bahan pokok kebutuhan sehari-hari yang amat menyengsarakan karena tidak mampu dikendalikan oleh pemerintah, merupakan sebagian dari contoh potret ketidak-efektifan kepemimpinan nasional. Kurangnya komunikasi dan sinergitas antar elemen dalam sistem manajemen pemerintahan nasional yang mengindikasikan ketidak-terlibatan pihak-pihak terkait dalam pengambilan keputusan, yang pada intinya adalah penghindaran atas sikap bertanggung jawab terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan serta egoisme sektoral, juga menjadi contoh lainnya dari kurang efektifnya kepemimpinan nasional Indonesia.
Sikap emosional, irasional dan perilaku temperamental sering menjadi tontonan “unik” yang diperlihatkan para pemimpin nasional di negeri ini. Hal tersebut berdampak kepada munculnya komunikasi yang tidak jelas dan membingungkan sehingga bermuara kepada gagalnya pencapaian kesepahaman dan kesepakatan untuk kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, seringnya pemimpin nasional menunjukkan keengganan untuk menghadapi perbedaan pendapat, apalagi konflik, dan bersikap tertutup terhadap kinerja pelayanan publik yang sudah dilaksanakan, mencerminkan ketidak-mampuan kepemimpinan nasional menjalankan fungsinya sebagai pemimpin nasional. Tambahan lagi, ketidak-becusan para pimpinan nasional untuk memperbaiki dan meningkatkan standar dan kinerja pemerintahan dalam melayani rakyat yang diakibatkan oleh ketidak-siapan menjadi pemimpin nasional serta perencaan yang kurang matang sebagai dampak sistim rekrutmen pemimpin melalui politik transaksional, menjadikan efektivitas kepemimpinan nasional bertambah buruk.
4. Kondisi Ideal dan Upaya
Kondisi-kondisi kepempimpinan seperti ini sesungguhnya amat rawan bagi pencapaian tingkat ketahanan nasional yang baik serta mempertahankannya. Oleh karena itu, tidak heran jika keinginan melepaskan diri dari NKRI akan tetap subur di tengah masyakarat Indonesia, khususnya bagi mereka yang secara ekonomi-politik termarginalkan. Kasus-kasus perbatasan dan gerakan-gerakan disintegrasi di beberapa wilayah dan di kota-kota – semisal NII, JI, Papua Merdeka, dan sebagainya – adalah sedikit contoh dari fenomena nyata di depan mata saat ini. Jika pola kepemimpinan nasional yang kurang efektif ini tidak diperbaiki dengan segera, bukan tidak mungkin kondisi tersebut akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan baik di dalam negeri maupun luar negeri untuk memporak-porandakan keutuhan NKRI.
Memimpin dan mengelola Indonesia itu tidak mudah, namun tidak juga sulit. Rakyat pada hakekatnya hanya butuh tiga hal utama dalam hidupnya di negeri yang subur-makmur ini: kesejahteraan (ekonomi-sosial), kesehatan, dan pendidikan. Jika kepemimpinan nasional mampu menyediakan pelayanan kepada rakyat dan fokus pada tiga masalah pokok tersebut, maka akan berdampak kepada semakin tingginya tingkat cinta tanah air dan rela berkorban demi NKRI dari bangsa di seluruh pelosok tanah air, yang tentunya berkorelasi langsung dengan peningkatan dan stabilitas ketahanan nasional. Bagaimana hal ini bisa dilakukan? Para pemimpin nasional perlu menunjukkan perhatian sungguh-sungguh terhadap kebutuhan rakyatnya, selalu berkonsultasi dan melibatkan semua pihak terkait dalam pengambilan keputusan melalui sebuah sinergitas dan komunikasi yang baik antar elemen, serta siap senantiasa menghadapi permasalahan dengan penuh tanggung-jawab. Pemimpin nasional juga harus mendorong semua pihak (sektor swasta dan masyarakat) untuk terlibat dan bekerja atas inisiatifnya masing-masing dalam gerak-dinamis pembangunan bangsa, memberi penghargaan atas hasil karya dan kerja keras yang sudah dilakukan, serta memelihara komitmen terhadap konsekwensi sebagai pemimpin nasional. Penting sekali juga untuk senantiasa mengupayakan peningkatan kinerja kepemimpinan nasional, baik untuk diri sendiri sang pemimpin maupun untuk kinerja organisasi (termasuk sub sistem) bangsa dan negara yang dipimpinnya. Hal itu akan memberikan dorongan yang kuat tidak hanya bagi pencapaian tujuan negara dengan lebih cepat tetapi juga dengan hasil yang berkualitas tinggi.
Sifat jujur, terbuka, dan komunikasi langsung apa adanya, merupakan beberapa karakter yang harus dimiliki oleh kepemimpinan nasional yang efektif dan efisien dalam berbagai hal. Memelihara semangat yang tinggi, dan kegemaran untuk menyampaikan pertanggung-jawaban kepada rakyat tentang apa yang sudah dilakukan secara periodik, transparan dan akuntabel, adalah dua unsur penting yang perlu dibudayakan oleh kepemimpinan nasional. Pada lingkup masing-masing, pemimpin nasional perlu mengimplementasikan kegiatan mendidik, melatih dan mengembangkan kemandirian anggota masyarakat sesuai dengan pengalaman dan potensi mereka, yang tentu saja tidak perlu dengan ceramah teoritis belaka namun terpenting menunjukkan perilaku yang patut dicontoh. Senantiasa mempertimbangkan akibat sebelum bertindak adalah salah satu kata kunci penting bagi kesuksesan kepemimpinan nasional di setiap masa.
III. PENUTUP
1. Kesimpulan
Memantapkan ketahanan nasional merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi semua negara di dunia ini. Hal tersebut terutama disebabkan oleh satu prinsip pokok bahwa tanpa ketahanan nasional, suatu negara akan menghadapi situasi sulit, yakni distegrasi bangsa. Untuk mencapai tingkat ketahanan nasional yang memadai, sekaligus mempertahankan stabilitas ketahanan nasional tersebut dibutuhkan kepempimpinan nasional yang kuat dan efektif. Kepemimpinan Nasional dan Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang tidak hanya saling terkait tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain. Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu sisi akan berdampak kepada meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu ketahanan nasional yang mantap pada sisi lain akan makin memperkokoh kepemimpinan nasional suatu bangsa. Berdasarkan fenomena lapangan yang ada di masyarakat, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan nasional di era reformasi ini relatif kurang efektif dikaitkan dengan peningkatan ketahanan nasional. Hal itu dapat terlihat dari masih adanya dinamika disintegrasi yang muncul akibat masih tingginya angka kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan di masyarakat Indonesia.
2. Saran
Untuk mengantisipasi kondisi yang lebih buruk terhadap ketahanan nasional Indonesia, disarankan agar dilakukan revitalisasi sistem kepemimpinan nasional yang baik dengan sinergitas dan komunikasi-koordinatif antar semua elemen bangsa, serta perlunya pendidikan karakter kepemimpinan nasional yang efektif bagi para pemimpin dan calon pemimpin nasional.
Daftar Pustaka
Bolden, R., Gosling, J., Marturano, A. and Dennison, P. 2003. A Review of Leadership Theory and Competency Frameworks. Centre for Leadership Studies, University of Exeter. UK.
Hamlin, R. 2007. Developing effective leadership behaviours: the value of evidence based management. Business Leadership Review IV:IV October 2007, UK
Irman Gusman, 2011, Dokumen Pidato dan Orasi Ilmiah ketua DPD-RI Tahun 2011.
Lemhannas, 2012, Buku Modul Bidang Studi Ketahanan Nasional.
Lemhannas, 2012, Buku Modul Bidang Studi Kepemimpinan Nasional.
What is Civil Right? Available on http://www.wisegeek.com/what-are-civil-rights.htm diakses pada 2 Juni 2012.
Dina Lucky Harsono, Kepemimpinan Yang Efektif Studi Kasus Sri Mulyani Indrawati, available on http://mygreenworld.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2010/12/16/kepemimpinan-yang-efektif-studi-kasus-sri-mulyani-indrawati/ (diakses pada tanggal 10 1 5 Juli 2012).
https://www.facebook.com/notes/wilson-lalengke/efektivitas-kepemimpinan-nasional-di-era-reformasi-terhadap-peningkatan-ketahana/10151124035792534
I. PENDAHULUAN
Kepemimpinan Nasional dan Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang tidak hanya saling terkait tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain. Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu sisi akan berdampak kepada meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu ketahanan nasional yang mantap pada sisi lain akan makin memperkokoh kepemimpinan nasional suatu bangsa. Sebaliknya, tanpa kepemimpinan yang baik dalam pengelolaan sebuah negara, terutama Indonesia sebagai bangsa yang multi etnis dengan kondisi geografis wilayah negara yang berbentuk kepulauan, negeri ini amat rentan terhadap guncangan sosial dan politik yang dapat berujung kepada perpecahan dan disintegrasi bangsa. Ketahanan nasional yang tinggi juga berpengaruh kuat terhadap terwujudnya kepemimpinan nasional yang kuat, dapat menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan secara efektif dalam mengelola pemerintahan negara. Keduanya, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, saling mendukung dan saling terimbas.
Sejak kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 hingga saat ini, rezim pemerintahan negara telah berganti beberapa kali, yang dapat dikelompokan dalam tiga fase atau orde. Setiap penguasa dengan episode-nya masing-masing memiliki karakteristik dan gaya pemerintahan yang unik dan berbeda. Orde Lama yang dikomandani Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno, dengan pola pemerintahan nasionalistik-universal yang didasari oleh suasana batin penolakan imprealisme-kolonialisme (gaya lama maupun gaya baru, neokolonialisme) cukup berhasil menyatukan bangsa Indonesia dalam sebuah negara dan menciptakan ketahanan nasional yang cukup baik. Bahkan, pada saat Indonesia masih sangat belia itu, Soekarno dengan gemilang merebut dan mempertahankan Irian Barat berintegrasi ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Jika jalan sejarah tidak berubah yang dipicu oleh tragedi politik berdarah di tahun 1965, beberapa bagian wilayah lainnya di seputaran nusantara, seperti Serawak di utara Kalimantan, Timor-Timur, bahkan Papua Nugini dan Semenanjung Malaysia dapat ditaklukan untuk diintegrasikan kedalam wilayah Indonesia dan menjadikannya bagian integral bangsa Indonesia oleh penguasa saat itu.
Masa pemerintahan Soekarno tidaklah luput dari berbagai persoalan dan rongrongan yang mengarah kepada bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemberontakan demi pemberontakan terjadi di beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Upaya pecah-belah negara yang baru terbentuk inipun juga telah dilakukan secara “legal” melalui pembentukan negara-negara kecil di nusantara yang menyatu dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Namun, kepemimpinan Orde Lama dengan gaya khas seorang orator dan diplomat ulung, Soekarno dapat dipandang berhasil mempertahankan keutuhan NKRI melalui berbagai langkah strategis, baik kedalam negeri maupun ke tataran diplomasi internasional. Kondisi ketahanan nasional tetap terjaga hingga kepada pergantian rezim di tahun 1966/67.
Era Orde Lama berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Demikian juga terjadi dalam dunia pemerintahan negara Indonesia. Orde Baru, yang dimotori oleh Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, muncul dengan slogan barunya: “bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”. Kalimat sakti mandraguna tersebut telah berhasil menyihir seluruh lapisan masyarakat yang rindu dengan pemerintahan yang benar-benar berdasarkan konstitusi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam kehidupan bermasyarkat tetapi juga dalam sistim pemerintahan negara. Setidaknya, melalui sosialisasi jargon Orde Baru tersebut, rekatan persatuan dan kesatuan antar elemen masyarakat yang terdiri dari ratusan suku bangsa dapat lebih kuat sehingga mengurangi hayalan disintegrasi bangsa untuk sementara waktu.
Langkah pemerintahan Soeharto yang fokus kepada usaha pemenuhan kebutuhan pokok rakyat melalui program-program pembangunan lima tahunan, telah secara signifikan meningkatkan integrasi nasional yang semakin hari semakin kuat di antara sesama anak bangsa. Program asimiliasi dan perkawinan campuran antar suku dan etnis, termasuk di kalangan Tionghoa, telah membuka sekat-sekat perbedaan di antara berbagai komponen bangsa untuk bersatu, yang pada gilirannya dapat mempertinggi ketahanan nasional negara Indonesia. Program transmigrasi yang diperkirakan telah membaurkan puluhan juta penduduk etnis Jawa-Madura-Bali ke hampir semua komunitas di seantero nusantara juga menjadi salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan nasional di bawah kendali Soeharto dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka peningkatan ketahanan nasional.
Dalam mengatasi pergolakan bernuansa disitengrasi, pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan gaya militer-otoriteristik melalui berbagai strategi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bahkan untuk membasmi tindak kriminalitas dan premanisme, pimpinan nasional saat itu menerapkan pola penghilangan paksa ala militer melalui satuan khusus bawah tanah, petrus (penembak misterius) yang menghasilkan matius (mati misterius). Keberadaan Kopkamtib (Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Kantor Sosial Politik di daerah-daerah menjadi alat “pengamanan” yang difungsikan tidak hanya sebagai strategi preventif-represif tapi juga sebagai komponen petugas penindakan dan recovery terhadap tindakan yang mengarah kepada pengancaman ketahanan nasional. Di masa Orde Baru, tingkat stabilitas ketahanan nasional dikategorikan sangat mantap.
Orde Baru harus berakhir, digantikan dengan Orde Reformasi sejak 1998 dan masih berjalan hingga saat ini. Pada kurun waktu 13 tahun masa Reformasi ini, telah muncul silih berganti 4 presiden di republik ini, Baharuddin Jusuf Habibi, Abdul Rahman Wahid, Megawati Soekarnoputra, dan Susilo Bambang Yudhonono. Dalam kaitannya dengan ketahanan nasional, buah pahit era Orde Reformasi berupa lepasnya Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu gubernurnya Abilio Soares adalah alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau, Sipadan dan Ligitan ke wilayah kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan cerminan awal lemahnya kepemiminan nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan kepemimpinan nasional saat ini mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional dalam kaitannya dengan penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain, bagaimanakah efektivitas kepemimpinan nasional di era reformasi terhadap peningkatan ketahanan nasional? Persoalan utama ini tentunya amat menarik untuk dijadikan bahan kajian dan analisis dalam rangka menginspirasi setiap anak bangsa, teristimewa para pemimpin nasional, dalam mencari formula kepemimpinan nasional yang baik, efektif dan efisien di masa mendatang.
II. PEMBAHASAN
1. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan selalu menarik untuk dibahas. Teori yang menelaah tentang diskursus ini juga terus berkembang dan berevolusi. Dimulai dari topik kepemimpinan yang dikarenakan sifat-sifat yang telah dimiliki sejak lahir, gaya-gaya kepemimpinan, dan pembahasan tipe kepemimpinan yang sesuai dengan situasi-situasi tertentu, hingga ke pokok bahasan kepemimpinan yang dilihat dari bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain dan mampu membawa pengikutnya menghadapi perubahan dan berubah (Bolden et al., 2003). Secara umum, disepakati bersama bahwa seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan, keterampilan, dapat menganalisa informasi secara mendalam untuk mengambil suatu keputusan yang tepat, dia juga harus bisa melibatkan pihak-pihak yang tepat dalam proses pengambilan keputusan. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dapat menciptakan situasi yang menginspirasi para pengikutnya agar mencapai tujuan yang lebih baik dan lebih tinggi lagi dari keadaan sekarang. Pada kenyataannya seorang pemimpin yang efektif adalah orang yang mampu membaca situasi, mengatasi permasalahan, bertanggung-jawab, mau mengembangkan pengikutnya dan yang terpenting memiliki integritas dan etika yang baik, karena dia harus memberikan contoh atau bertindak sebagai panutan bagi pengikutnya.
Banyak pemikiran bermunculan mewarnai teori kepemimpinan, dan terus berkembang hingga sekarang. Berikut adalah perkembangannya mulai dari Great Man Theories, Trait Theories, Behaviourist Theories, Situational Leadership, Contingency Theory, dan Transactional Theory sampai dengan Transformational Theory atau kepemimpinan transformasional (Bolden et al. (2003). Transformational theory sebagai pendekatan yang paling terakhir berkembang, dimulai oleh James MacGregor Burns dengan bukunya ‘Leadership’. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional adalah suatu hubungan yang bersifat mutual dan menuju kearah peningkatan yang bisa merubah pengikut menjadi pemimpin dan dapat merubah pemimpin menjadi agen moral. Lebih lanjut Burns menyatakan kepemimpinan transformasional terjadi ketika satu orang atau lebih saling berinteraksi dimana mereka saling mempengaruhi sehingga baik si pemimpin dan sang pengikut mencapai tingkat motivasi dan moral yang lebih tinggi.
1.1. Kepemimpinan Transaksional dan Transfomasional
Pengembangan lebih lanjut oleh Stephen Covey (1992) dalam bukunya ‘Principle-Centred Leadership’ menyatakan perbedaan antara pemimpin transaksional dan pemimpin transformasional sebagai berikut:
Kepemimpinan Transaksional:
- Berdasarkan keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan;
- Dimulai dengan kekuatan, posisi dan politik;
- Berdasarkan kejadian sehari-hari;
- Pencapaian tujuan jangka pendek dan orientasi pada data yang nyata;
- Fokus pada masalah taktis;
- Mengandalkan hubungan yang baik untuk interaksi antar sesama;
- Memenuhi peran yang diharapkan melalui kerja yang efektif sesuai dengan system; dan
- Mendukung sistem dan struktur yang menghasilkan dan memaksimalkan efisiensi dan menjamin keuntungan dalam jangka pendek.
Kepemimpinan Transformasional:
- Berdasarkan kebutuhan seseorang untuk suatu arti;
- Dimulai dengan tujuan dan nilai-nilai, moral dan etika;
- Lebih dari (diatas) kejadian sehari-hari;
- Pencapaian tujuan jangka panjang tanpa mengkompromikan nilai-nilai dan prinsip;
- Fokus pada misi dan strategi;
- Mengarahkan potensi; identifikasi dan pengembangan sumber daya;
- Mendesain dan me-re-desain pekerjaan supaya menjadi lebih berarti dan menantang; dan
- Menyesuaikan struktur dan sistem internal untuk pencapaian nilai dan tujuan.
Covey menyatakan bahwa kedua tipe kepemimpinan di atas dibutuhkan. Kepemimpinan transaksional diperlukan sebagai model bagi banyak orang dan untuk organisasi yang stabil dan tidak memerlukan perubahan; sedangkan kepemimpinan transformasional diperlukan untuk menghadapi dan memfasilitasi perubahan (Bolden et al., 2003). Pada 1994, Bass dan avolio menyatakan bahwa pemimpin transformasional menunjukkan perilaku-perilaku yang berasosiasi dengan 5 gaya transformasi, yakni: Ideal Behaviour yang berpegang teguh pada idealism sang pemimpin; Inspirational Motivation, yang selalu menginspirasi orang lain; Intellectual Stimulation, yang senantiasa menstimulai orang lain; Individualized Consideration, yang berupaya melatih dan membangun orang lain; dan Idealized Attributes, yang menghargai, mempercayai dan meyakinkan orang lai. Kepemimpinan transformasional bersifat proaktif dalam berbagai macam dan caranya yang unik. Para pemimpin ini berusaha untuk mengoptimasikan pengembangan dan tidak hanya fokus pada kinerja saja, mereka juga mendorong rekan-rekannya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi termasuk juga pada peningkatan standar moral dan etika. Melalui pengembangan rekan-rekannya mereka yakin organisasinya juga akan otomatis berkembang.
1.2. Kepemimpinan Efektif dan Tidak Efektif
Pengembangan lebih lanjut dari teori kepemimpinan transformasional adalah oleh Hooper dan Potter (1997) yang mengidentifikasi tujuh kompetensi inti dari ‘transcendent leaders”; yaitu pemimpin yang mampu mengikat dukungan emosi dari para pengikutnya dan mampu dengan efektif melakukan perubahan yang transenden (Bolden et al., 2003): Menentukan tujuan, Memberikan contoh, Komunikasi, Melakukan harmonisasi, Mengeluarkan kemampuan terbaik dari pengikutnya, Menjadi agen perubahan, Memberikan keputusan di saat kritis dan kebingungan. Hamlin (2002) dalam Bolden et al,. 2003 mengajukan model generik untuk manajer dan kepemimpinan yang efektif berdasarkan analisa peta perilaku kepemimpinan dan manajemen di 4 organisasi sektor publik di UK; yang dibedakan menjadi indikator-indikator positif dan negatif:
Indikator Positif, meliputi:
1. Kemampuan berorganisasi yang efektif dan manajemen perencanaan;
2. Kepemimpinan partisipatif dan supportif, kepemimpinan tim proaktif;
3. Empowerment dan delegasi;
4. Memperhatikan keadaan, kebutuhan, dan perkembangan anggota;
5. Manajemen pendekatan terbuka dan personal; dan
6. Berkomunikasi dan berkonsultasi dengan semua pihak.
Indikator Negatif, meliputi:
1. Tidak memperhatikan pendapat sekitar (manajemen otokratik);
2. Tidak memperhatikan orang lain, tidak melayani, berperilaku mengintimidasi;
3. Membiarkan kinerja yang buruk dan standar yang rendah;
4. Menyerahkan peran dan tanggungjawabnya ke orang lain; dan
5. Menolak ide-ide baru.
Hamlin (2007) mendapatkan hasil yang mirip untuk kepemimpinan yang efektif, yakni:
Perilaku Positif (kepemimpinan efektif), meliputi:
- Menunjukkan perhatian kepada orang lain (rakyat), merespon terhadap kebutuhan mereka;
- Berkonsultasi dan melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan;
- Melakukan pertemuan dan komunikasi regular dengan seluruh elemen terkait untuk penentuan target, tujuan, pembagian tugas dan penilaian kinerja;
- Menghadapi permasalahan dengan penuh tanggung-jawab;
- Mendorong semua pihak (sektor swasta dan masyarakat) untuk bertindak dan bekerja atas inisiatifnya masing-masing;
- Mengakui kerja keras dan komitmen orang lain;
- Menggunakan informasi, pengetahuan dan pengalaman secara efektif untuk pengambilan keputusan;
- Manajemen perencanaan proyek yang efektif;
- Mencari cara peningkatan berkelanjutan di atas segala permasalahan dan hambatan yang ada;
- Selalu siap menghadapi permasalahan yang sulit dan sensitif;
- Menunjukkan semangat dan antusiasme yang tinggi;
- Menyampaikan pertanggung-jawaban kepada rakyat tentang apa yang sudah dilakukan secara periodik, transparan dan akuntabel;
- Gaya komunikasi yang langsung, terbuka, jujur;
- Mendidik, melatih dan mengembangkan kemandirian anggota masyarakat sesuai dengan pengalaman dan potensinya;
- Menunjukkan perilaku yang patut dicontoh; dan
- Mempertimbangkan akibat sebelum bertindak.
Perilaku Negatif (kepemimpinan tidak efektif), meliputi:
- Tidak menunjukkan komitmen dan perhatian terhadap orang lain (rakyat) dan tidak menghargai sumbangsih kerja mereka;
- Tidak melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan;
- Tidak bertanggung jawab, merasa memiliki atau akuntabel;
- Reaktif, fokus pada hal kecil bukan pada keseluruhan permasalahan;
- Membatalkan atau mengatur ulang rapat pada saat-saat terakhir;
- Bersikap emosional, irasional dan temperamental;
- Komunikasi yang tidak jelas atau membingungkan;
- Tidak berkomunikasi atau menguasai perubahan secara efektif;
- Gagal mencapai persetujuan atau mengklarifikasi harapan;
- Menunjukkan keengganan untuk berhadapan dengan konflik;
- Menunjukkan ketidakterbukaan dan fokus pada halangan-halangan;
- Membiarkan standar dan kinerja yang rendah; dan
- Persiapan atau perencanaan yang kurang.
2. Kepemimpinan Nasional di Era Reformasi
Negara Indonesia dibentuk dalam kerangka mencapai tujuan nasional Indonesia Merdeka yakni sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Hal tersebut tentunya harus dimaknai bahwa keberhasilan bangsa Indonesia sebagai suatu negara akan diukur dari seberapa jauh tingkat kemampuan Pemerintah bersama rakyatnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, aman, adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengorganisasian seluruh rakyat dan segala sumber daya yang tersedia amat penting dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dalam hal pengelolaan organisasi negara inilah, faktor kepemimpinan nasional amat menentukan.
Empatbelas tahun hampir tuntas sudah Indonesia menjalani babak baru pasca Orde Baru, yang kita sebut Orde Reformasi. Perubahan demi perubahan menjadi fenomena bangsa kita sejak kejatuhan Soeharto hingga memasuki masa tujuh-delapan tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Pada kurun waktu empatbelas tahun itu sesungguhnya rakyat sudah semestinya dapat menikmati hasil dari perubahan yang menjadi tuntutan jutaan mahasiswa dan masyarakat di akhir rezim Orde Baru tiga-belasan lalu. Namun, kenyataan mengindikasikan seakan-akan pemerintah Indonesia belum mampu membawa rakyatnya kepada kondisi yang diidamkan tersebut. Berbagai kasus yang terjadi silih berganti di hampir seluruh pelosok tanah air menjadi pertanda bahwa tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 belum tercapai, bahkan seakan tiada akan terwujud.
Irman Gusman mencatat bahwa belakangan ini terdapat berbagai persoalan yang menjadi menu keseharian rakyat Indonesia, mulai dari masalah makelar kasus, manipulasi pertanahan dan kisruh agraria di mana-mana, penegakan hukum yang hanya berpihak kepada kelompok tertentu, hingga penggelapan pajak triliunan rupiah adalah cerita miris yang menghimpit setiap nurani kita. Masih banyak kisah pilu lainnya yang mendera bangsa ini. Pemandangan penggusuran paksa, konflik-konflik bernuansa SARA, tawuran antar desa, antar sekolah, antar kampus, antar komunitas hingga ke persoalan separitisme Organisasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan lain-lain, masih menghiasi layar media massa kita hari-hari ini. Di lain waktu kita juga disugihi informasi tentang hingar-bingarnya pola hidup hedonis-materialistis dari sebagian masyarakat di tataran elit yang lebih beruntung nasibnya secara materil dari kebanyakan rakyat di negara ini. Belum lagi jika kita lihat secara vulgar strategi berpolitik para elit politik bangsa yang hampir seluruhnya menerapkan pola politik uang, sebuah kehidupan politik yang oleh sebagian pihak menyebutnya sebagai sistem penerapan demokrasi yang tidak manusiawi. Negeri ini sedang mengalami kerapuhan di segala bidang yang menjurus kepada perpecahan dan disintegrasi bangsa. (Irman Gusman, 2011).
Badan dan institusi negara bermunculan dibentuk pemerintah yang ditujukan untuk memperlancar penuntasan masalah dan berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya, diadakan sejak pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri untuk menangani perkara korupsi yang dikategorikan sebagai the extra-ordinary crime, yang telah menggurita secara luar biasa di berbagai lapisan masyarakat kita. Sebagaimana yang diketahui bersama, hingga saat ini KPK belum mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik, pejabat tinggi negara, maupun birokrat. Pada tataran yang lebih penting, mendesak, dan amat fundamental bagi rakyat, yakni menyangkut kehidupan sehari-hari rakyat, terlihat bahwa pemerintah masih kesulitan mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang semakin hari semakin membumbung tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Pangan seakan menjadi barang langka dan sulit diakses oleh masyarakat. Ketahanan pangan menjadi pertaruhan bagi kelangsungan hidup rakyat, yang sekaligus juga menjadi salah satu indikator penentu kuat-lemahnya ketahanan nasional Indonesia.
3. Ketahanan Nasional dan Efektivitas Kepemimpinan Nasional
Ketahanan Nasional Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya. Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Pendekatan yang semestinya ditempuh para pemimpin nasional dalam meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional adalah dengan kebijakan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat melalui pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi, pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat, serta kesehatan dan keamaan umum. Pada kondisi terpenuhinya hajat hidup orang banyak dengan mudah dan tersedia terjangkau setiap saat di semua tempat di nusantara, maka nasionalisme bangsa akan semakin menguat yang selanjutnya akan menjadi modal terbesar dalam mengeliminir keinginan disintegrasi bangsa.
Bercermin dari kondisi nyata di masyarakat Indonesia saat ini sebagaimana telah dituliskan di atas, dikaitkan dengan teori efektivitas kepemimpinan yang diuraikan di awal tadi, maka dengan sangat jelas terlihat bahwa pelaksanaan amanah rakyat oleh para pemimpin nasional, mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah, dapat dikategorikan belum mencapai efektivitas yang baik. Sikap dan perilaku kepemimpinan nasional yang kurang menunjukkan komitmen dan perhatian terhadap rakyat kecil dan termarginalkan oleh sistem kapitalisme, pendidikan yang dibiayai oleh 20% APBN namun semakin tidak terjangkau oleh rakyat pinggiran, akses kesehatan yang mahal, serta harga bahan pokok kebutuhan sehari-hari yang amat menyengsarakan karena tidak mampu dikendalikan oleh pemerintah, merupakan sebagian dari contoh potret ketidak-efektifan kepemimpinan nasional. Kurangnya komunikasi dan sinergitas antar elemen dalam sistem manajemen pemerintahan nasional yang mengindikasikan ketidak-terlibatan pihak-pihak terkait dalam pengambilan keputusan, yang pada intinya adalah penghindaran atas sikap bertanggung jawab terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan serta egoisme sektoral, juga menjadi contoh lainnya dari kurang efektifnya kepemimpinan nasional Indonesia.
Sikap emosional, irasional dan perilaku temperamental sering menjadi tontonan “unik” yang diperlihatkan para pemimpin nasional di negeri ini. Hal tersebut berdampak kepada munculnya komunikasi yang tidak jelas dan membingungkan sehingga bermuara kepada gagalnya pencapaian kesepahaman dan kesepakatan untuk kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, seringnya pemimpin nasional menunjukkan keengganan untuk menghadapi perbedaan pendapat, apalagi konflik, dan bersikap tertutup terhadap kinerja pelayanan publik yang sudah dilaksanakan, mencerminkan ketidak-mampuan kepemimpinan nasional menjalankan fungsinya sebagai pemimpin nasional. Tambahan lagi, ketidak-becusan para pimpinan nasional untuk memperbaiki dan meningkatkan standar dan kinerja pemerintahan dalam melayani rakyat yang diakibatkan oleh ketidak-siapan menjadi pemimpin nasional serta perencaan yang kurang matang sebagai dampak sistim rekrutmen pemimpin melalui politik transaksional, menjadikan efektivitas kepemimpinan nasional bertambah buruk.
4. Kondisi Ideal dan Upaya
Kondisi-kondisi kepempimpinan seperti ini sesungguhnya amat rawan bagi pencapaian tingkat ketahanan nasional yang baik serta mempertahankannya. Oleh karena itu, tidak heran jika keinginan melepaskan diri dari NKRI akan tetap subur di tengah masyakarat Indonesia, khususnya bagi mereka yang secara ekonomi-politik termarginalkan. Kasus-kasus perbatasan dan gerakan-gerakan disintegrasi di beberapa wilayah dan di kota-kota – semisal NII, JI, Papua Merdeka, dan sebagainya – adalah sedikit contoh dari fenomena nyata di depan mata saat ini. Jika pola kepemimpinan nasional yang kurang efektif ini tidak diperbaiki dengan segera, bukan tidak mungkin kondisi tersebut akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan baik di dalam negeri maupun luar negeri untuk memporak-porandakan keutuhan NKRI.
Memimpin dan mengelola Indonesia itu tidak mudah, namun tidak juga sulit. Rakyat pada hakekatnya hanya butuh tiga hal utama dalam hidupnya di negeri yang subur-makmur ini: kesejahteraan (ekonomi-sosial), kesehatan, dan pendidikan. Jika kepemimpinan nasional mampu menyediakan pelayanan kepada rakyat dan fokus pada tiga masalah pokok tersebut, maka akan berdampak kepada semakin tingginya tingkat cinta tanah air dan rela berkorban demi NKRI dari bangsa di seluruh pelosok tanah air, yang tentunya berkorelasi langsung dengan peningkatan dan stabilitas ketahanan nasional. Bagaimana hal ini bisa dilakukan? Para pemimpin nasional perlu menunjukkan perhatian sungguh-sungguh terhadap kebutuhan rakyatnya, selalu berkonsultasi dan melibatkan semua pihak terkait dalam pengambilan keputusan melalui sebuah sinergitas dan komunikasi yang baik antar elemen, serta siap senantiasa menghadapi permasalahan dengan penuh tanggung-jawab. Pemimpin nasional juga harus mendorong semua pihak (sektor swasta dan masyarakat) untuk terlibat dan bekerja atas inisiatifnya masing-masing dalam gerak-dinamis pembangunan bangsa, memberi penghargaan atas hasil karya dan kerja keras yang sudah dilakukan, serta memelihara komitmen terhadap konsekwensi sebagai pemimpin nasional. Penting sekali juga untuk senantiasa mengupayakan peningkatan kinerja kepemimpinan nasional, baik untuk diri sendiri sang pemimpin maupun untuk kinerja organisasi (termasuk sub sistem) bangsa dan negara yang dipimpinnya. Hal itu akan memberikan dorongan yang kuat tidak hanya bagi pencapaian tujuan negara dengan lebih cepat tetapi juga dengan hasil yang berkualitas tinggi.
Sifat jujur, terbuka, dan komunikasi langsung apa adanya, merupakan beberapa karakter yang harus dimiliki oleh kepemimpinan nasional yang efektif dan efisien dalam berbagai hal. Memelihara semangat yang tinggi, dan kegemaran untuk menyampaikan pertanggung-jawaban kepada rakyat tentang apa yang sudah dilakukan secara periodik, transparan dan akuntabel, adalah dua unsur penting yang perlu dibudayakan oleh kepemimpinan nasional. Pada lingkup masing-masing, pemimpin nasional perlu mengimplementasikan kegiatan mendidik, melatih dan mengembangkan kemandirian anggota masyarakat sesuai dengan pengalaman dan potensi mereka, yang tentu saja tidak perlu dengan ceramah teoritis belaka namun terpenting menunjukkan perilaku yang patut dicontoh. Senantiasa mempertimbangkan akibat sebelum bertindak adalah salah satu kata kunci penting bagi kesuksesan kepemimpinan nasional di setiap masa.
III. PENUTUP
1. Kesimpulan
Memantapkan ketahanan nasional merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi semua negara di dunia ini. Hal tersebut terutama disebabkan oleh satu prinsip pokok bahwa tanpa ketahanan nasional, suatu negara akan menghadapi situasi sulit, yakni distegrasi bangsa. Untuk mencapai tingkat ketahanan nasional yang memadai, sekaligus mempertahankan stabilitas ketahanan nasional tersebut dibutuhkan kepempimpinan nasional yang kuat dan efektif. Kepemimpinan Nasional dan Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang tidak hanya saling terkait tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain. Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu sisi akan berdampak kepada meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu ketahanan nasional yang mantap pada sisi lain akan makin memperkokoh kepemimpinan nasional suatu bangsa. Berdasarkan fenomena lapangan yang ada di masyarakat, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan nasional di era reformasi ini relatif kurang efektif dikaitkan dengan peningkatan ketahanan nasional. Hal itu dapat terlihat dari masih adanya dinamika disintegrasi yang muncul akibat masih tingginya angka kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan di masyarakat Indonesia.
2. Saran
Untuk mengantisipasi kondisi yang lebih buruk terhadap ketahanan nasional Indonesia, disarankan agar dilakukan revitalisasi sistem kepemimpinan nasional yang baik dengan sinergitas dan komunikasi-koordinatif antar semua elemen bangsa, serta perlunya pendidikan karakter kepemimpinan nasional yang efektif bagi para pemimpin dan calon pemimpin nasional.
Daftar Pustaka
Bolden, R., Gosling, J., Marturano, A. and Dennison, P. 2003. A Review of Leadership Theory and Competency Frameworks. Centre for Leadership Studies, University of Exeter. UK.
Hamlin, R. 2007. Developing effective leadership behaviours: the value of evidence based management. Business Leadership Review IV:IV October 2007, UK
Irman Gusman, 2011, Dokumen Pidato dan Orasi Ilmiah ketua DPD-RI Tahun 2011.
Lemhannas, 2012, Buku Modul Bidang Studi Ketahanan Nasional.
Lemhannas, 2012, Buku Modul Bidang Studi Kepemimpinan Nasional.
What is Civil Right? Available on http://www.wisegeek.com/what-are-civil-rights.htm diakses pada 2 Juni 2012.
Dina Lucky Harsono, Kepemimpinan Yang Efektif Studi Kasus Sri Mulyani Indrawati, available on http://mygreenworld.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2010/12/16/kepemimpinan-yang-efektif-studi-kasus-sri-mulyani-indrawati/ (diakses pada tanggal 10 1 5 Juli 2012).
https://www.facebook.com/notes/wilson-lalengke/efektivitas-kepemimpinan-nasional-di-era-reformasi-terhadap-peningkatan-ketahana/10151124035792534
PENGERTIAN KETAHANAN NASIONA
BAMBANG SETIYADI
2 DB 16
38111303
PENGERTIAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
A. PENGERTIAN
Ketahanan Nasional adalah kondisi hidup dan kehidupan nasional yang harus senantiasa diwujudkan dan dibina secara terus-menerus secara sinergi. Hal demikian itu, dimulai dari lingkungan terkecil yaitu diri pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan modal dasar keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatan nasional.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ketahanan nasional ialah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya, menuju kejayaan bangsa dan negara.
Hakekat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemempuan menggambarkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional.
B. ASAS KETAHANAN NASIONAL
1. Pendekatan Kesejahteraan dan Keamanan
Konsepsi ketahanan nasional hakikatnya adalah konsepsi pengaturan kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan dan keamanan bagai satu keping mata uang, keduanya tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan.
2. Komprehensif dan Integral
Ketahanan nasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan nasional secara komprehensif integral (utuh menyeluruh), tidak dipandang dari satu sisi saja.
C. SIFAT-SIFAT KETAHANAN NASIONAL
1. Manunggal
Aspek kehidupan bangsa Indonesia dikelompokkan ke dalam delapan gatra atau astagatra.
2. Mawas ke dalam dan Mawas ke luar
Ketahanan nasional terutama diarahkan pada diri bangsa dan negara sendiri.
3. Kewibawaan
Makin meningkatnya pembangunan nasional, akan meningkatkan ketahanan nasional.
4. Berubah menurut Waktu
Ketahanan nasional, sebagai kondisi bangsa tidak selalu tetap, tergantung dari upaya bangsa dalam pembangunan nasional dari waktu ke waktu dan ketangguhannya menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.
5. Tidak Membenarkan Adu Kekuatan dan Adu Kekuasaan
Konsep ketahanan nasional tidak hanya mengutamakan kekuasaan fisik tetapi juga kekuatan moral yang dimiliki suatu bangsa.
6. Percaya Pada Diri Sendiri
Ketahanan nasional ditingkatkan dan dikembangkan didasarkan atas kemampuan sumber daya yang ada pada bangsa dan sikap percaya kepada diri sendiri.
D. LANDASAN KETAHANAN NASIONAL
1. Pancasila
2. UUD 1945
3. Wawasan Nusantara
E. WAJAH DAN FUNGSI KETAHANAN NASIONAL
1. Wajah Ketahanan Nasional
a. Sebagai Kondisi
b. Sebagai Doktrin Nasional
c. Sebagai Metode Pemecahan Masalah
2. Fungsi Ketahanan Nasional
a. Sebagai Doktrin Nasional atau Doktrin Perjuangan
b. Sebagai Pola Dasar Pembangunan Nasional
c. Sebagai Metode Pembinaan Kehidupan Nasional
d. Sebagai Sistem Kehidupan Nasional
F. KATA-KATA KUNCI DALAM KONSEP KETAHANAN NASIONAL
1. Keuletan merupakan kualitas diri.
2. Ketangguhan adalah kualitas yang menunjukkan kekuatan atau kekokohan sebagaimana dipersepsikan dari luar oleh pihak lain.
3. Ancaman merupakan hal atau usaha yang bersifat mengubah kebijaksanaan dan dilaksanakan secara konsepsional kriminal serta politis.
4. Tantangan merupakan usaha yang bertujuan atau bersifat menggugah kemampuan.
5. Hambatan merupakan usaha yang bertujuan melemahkan secara tidak konsepsional yang berasal dari diri sendiri.
6. Gangguan adalah hambatan yang berasal dari luar yang bertujuan melemahkan secara tidak konsepsional.
7. Identitas adalah ciri khas suatu bangsa dilihat secara keseluruhan yang membedakannya dengan bangsa lain.
8. Integritas adalah kesatuan yang menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa, baik aspek alamiah maupun aspek sosial.
G. PENGERTIAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA.
Ketahanan Nasional Indonesia Adalah Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan megatasi Ancaman, Gangguan, Hambatan, Tantangan (AGHT) baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri untuk menjamin identitas, integritas dan kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapi tujuan nasionalnya.
Dalam Pengertian Tersebut Ketahanan nasional adalah konsisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dengan pembinaan sejak dini, sinergik dan kontinue, secara pribadi, keluarga, daerah dan nasional.Dengan Bermodalkan Keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, berdasarkan pemikiran geostrategis berupa : konsepsi yang dirancang dan dirumuskan dengan memperhatikan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia.
HAKEKAT KETAHANAN NASIONAL DAN KONSEPSI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Hakekat Ketahanan Nasional Indonesia = Keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup dan tujuan negara.
2. Hakekat Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia = Pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan nasional.
ASAS-ASAS KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Kesejahteraan dan keamanan
2. Komprehensif Integral (Menyeluruh Terpadu)
3. Mawas kedalam dan keluar
4. Kekeluargaan
SIFAT KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Mandiri = Percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian. Kemandirian merupakan prasyarat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan
2. Dinamis = Berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi lingkungan strategis.
3. Wibawa = Pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain.
4. Konsultasi dan Kerjasama = Sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
PENGARUH ASPEK KETAHANAN NASIONAL PADA KEHIDUPAN BERNEGARA
Ketahanan nasional merupakan gambaran dari kondisi sistem (tata) kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu. Tiap-tiap aspek relatif berubah menurut waktu, ruang dan lingkungan terutama pada aspek-aspek dinamis sehingga interaksinya menciptakan kondisi umum yang sulit dipantau karena sangan komplek.
Konsepsi ketahanan nasional akan menyangkut hubungan antar aspek yang mendukung kehidupan, yaitu:
1. Aspek alamiah (Statis)
a. Geografi b. Kependudukan c. Sumber kekayaan alam
2. Aspek sosial (Dinamis)
a. Ideologi
b. Politik
c. Ekonomi
d. Sosial budaya
e. Ketahanan keamanan
2. KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Perkembangan Ketahanan Nasional
Dewasa ini istilah ketahanan nasional sudah dikenal diseluruh Indonesia. Dapat dikatakan bahwa istilah itu telah menjadi milik nasianal. Ketahanan Nasional baru dikenal sejak permulaan tahun 60 an. Pada saat itu istilah itu belum diberi devenisi tertentu. Disamping itu belum pula disusun konsepsi yang lengkap menyeluruh tentang ketahanan nasional. Istilah ketahanan nasional pada waktu itu dipakai dalam rangka pembahasan masalah pembinaan ter itorial atau masalah pertahanan keamanan pada umumnya.
Walaupun banyak instansi maupun perorangan pada waktu itu menggunakan istilah ketahanan nasional, namun lembaga yang secara serius dan terus-menerus mempelajari dan membahas masalah ketahanan nasional adalah lembaga pertahanan nasional atau lemhanas. Sejak Lemhanas didirikan pada tahun 1965, maka masalah ketahanan nasional selalu memperoleh perhatian yang besar.
Sejak mulai dengan membahas masalah ketahanan nasional sampai sekarang, telah dihasilkan tiga konsepsi.Pengertian atau devenisi pertama Lemhanas, yang disebut dalam konsep 1968 adalah sebagai berikut :
Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara dan bangsa Indonesia.
Pengertian kedua dari Lemhanas yang disebut dalam ketahanan nasional konsepsi tahun 1969 merupakan penyempurnaan dari konspsi pertama yaitu :
Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan suatu bangsa yang mengandung kemampuan untuk memperkembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara Indonesia.
Ketahanan nasional merupakan kodisi dinamis suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguahan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional,didalam menghadapi didalam menghadapi dan mengisi segala tantangan, ancaman ,hambatan, serta gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas,identitas , kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mengejar perjuangan nasional.
Apabila kita bandingkan dengan yang terdahulu, maka akan tampak perbedaan antara lain seperti berikut :
a. Perumusan 1972 bersifat universal, dalam arti bahwa rumusan tersebut dapat diterapkan dinegara-negara lain, terutama di Negara-negara yang sedang berkembang.
b. Tidak lagi diusahakan adanya suatu devenisi, sebagai gantinya dirumuskan apa yang dimaksud kan dengan istilah ketahanan nasional.
c. Jika dahulu ketahanan nasional di identikkan dengan keuletan dan daya tahan , maka ketahanan nasional merupakan suatu kondisi dinamis yang berisikan keuletan dan ketangguhan, yang berarti bahwa kondisi itu dapat berubah.
d. Secara lengkap dicantumkan tantangan, ancaman , hambatan, serta ganguan.
e. Kelangsungan hidup lebih diperinci menjadi integritas, identitas, dan kelangsungan hidup.
Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jendral Suharto di depan siding DPR tanggal 16 Agustus 1975, dikatakan bahwa ketahanan nsional adalah tingkat keadaan dan keuletan dan ketangguhan bahwa Indonesia dalam menghimpun dan mengarahkan kesungguhan kemampuan nasional yang ada sehingga merupakan kekuatan nasional yang mampu dan sanggup menghadapi setiap ancaman d an tantangan terhadap keutuhanan maupun kepribadian bangsa dan mempertahankan kehidupan dabn kelangsungan cita-citanya.
Karena keadaan selalu berkembang serta bahaya dan tantangan selalu berubah, maka ketahanan nasional itu juga harus dikembangkan dan dibina agar memadai dengan perkembangan keadaan. Karena itu ketahanan nasional itu bersift dinamis, bukan statis.
Ikhtiar untuk mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh ini bukanlah hl baru bagi kita. Tetapiu pembinaan dan peningkatannya sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan fasililitas yang tersedi pula.
Pembinaan ketahanan nasional kita dilakukan dipelgai bidang : ideology , poluitik, ekonomi , sosial budaya dan hankam, baik secara serempak maupun menurut prioritas kebutuhan kita.
2. Perwujudan Ketahanan Nasional Indonesia dalan Trigarta
Untuk memberi gambaran umum tentang Indonesia, marilah kita membahasas dahulu dar segi aspek-aspek alamiah atau Trigatra dengan mulai meninjau :
a. Aspek lokasi dan posisi Geografis Wilayah Indonesia
Jikalau kita melihat letak geografis wilayah Indonesia dalam peta dunia, maka akan nampak jelas bahwa wilayah Negara tersebut merupakan suatu kepulauan, yang menurut wujud kedalam, terdiri dari daerah air dengan ribuan pulau-pulau didalamnya. Yang dalam bahasa asing bisa disebut sebagai suatu archipelago kelvar, kepulauan itu merupakan suatu archipelago yang terletak antara benua Asia disebelah utara dan benua Australia disebelah selatan serta samudra Indonesia disebelah barat dan samudra pasifik disebelah timr.
Berhubungan letak geografis antara dua benua dan samudra yang penting itu, maka dikatakan bahwa Indonesia mempunyai suatu kedudukan geograpis ditengah tengah jalan lalu lintas silang dunia. Karena kedudukannya yagn strategis itu, dipandang dari tiga segi kesejahtraan dibidang politik, ekonomi dan sosial budaya Indonesia telah banyak mengalami pertemuan dengan pengaruh pihak asing (akulturasi).
Menurut catatan Indonesia terdiri dari wilayah lautan dengan 13.667 pulau besar dan kecil, diperkirakan 3.000 pulau diantaranya yang dialami penduduk.
Luas pulau-pulau diperkirakn 735.000 mil persegi, sedangkn luas perairannya ditaksir 3 sampai 4 kali luas tanah (pulau-pulau). Jarak antara ujung barat sampai ujung timur adalah kira-kira 3.200 mil.
sumber :
- http://rnurinaramadhani.blogspot.com/2012/05/pengertian-ketahanan-nasional-indonesia.html
- http://khairulchaniago.wordpress.com/pengertian-arti-definisi-ketahanan-nasional-bangsa-negara
indonesia/
- http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/14/ketahanan-nasional-546126.html
2 DB 16
38111303
PENGERTIAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
A. PENGERTIAN
Ketahanan Nasional adalah kondisi hidup dan kehidupan nasional yang harus senantiasa diwujudkan dan dibina secara terus-menerus secara sinergi. Hal demikian itu, dimulai dari lingkungan terkecil yaitu diri pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan modal dasar keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatan nasional.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ketahanan nasional ialah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya, menuju kejayaan bangsa dan negara.
Hakekat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemempuan menggambarkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional.
B. ASAS KETAHANAN NASIONAL
1. Pendekatan Kesejahteraan dan Keamanan
Konsepsi ketahanan nasional hakikatnya adalah konsepsi pengaturan kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan dan keamanan bagai satu keping mata uang, keduanya tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan.
2. Komprehensif dan Integral
Ketahanan nasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan nasional secara komprehensif integral (utuh menyeluruh), tidak dipandang dari satu sisi saja.
C. SIFAT-SIFAT KETAHANAN NASIONAL
1. Manunggal
Aspek kehidupan bangsa Indonesia dikelompokkan ke dalam delapan gatra atau astagatra.
2. Mawas ke dalam dan Mawas ke luar
Ketahanan nasional terutama diarahkan pada diri bangsa dan negara sendiri.
3. Kewibawaan
Makin meningkatnya pembangunan nasional, akan meningkatkan ketahanan nasional.
4. Berubah menurut Waktu
Ketahanan nasional, sebagai kondisi bangsa tidak selalu tetap, tergantung dari upaya bangsa dalam pembangunan nasional dari waktu ke waktu dan ketangguhannya menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.
5. Tidak Membenarkan Adu Kekuatan dan Adu Kekuasaan
Konsep ketahanan nasional tidak hanya mengutamakan kekuasaan fisik tetapi juga kekuatan moral yang dimiliki suatu bangsa.
6. Percaya Pada Diri Sendiri
Ketahanan nasional ditingkatkan dan dikembangkan didasarkan atas kemampuan sumber daya yang ada pada bangsa dan sikap percaya kepada diri sendiri.
D. LANDASAN KETAHANAN NASIONAL
1. Pancasila
2. UUD 1945
3. Wawasan Nusantara
E. WAJAH DAN FUNGSI KETAHANAN NASIONAL
1. Wajah Ketahanan Nasional
a. Sebagai Kondisi
b. Sebagai Doktrin Nasional
c. Sebagai Metode Pemecahan Masalah
2. Fungsi Ketahanan Nasional
a. Sebagai Doktrin Nasional atau Doktrin Perjuangan
b. Sebagai Pola Dasar Pembangunan Nasional
c. Sebagai Metode Pembinaan Kehidupan Nasional
d. Sebagai Sistem Kehidupan Nasional
F. KATA-KATA KUNCI DALAM KONSEP KETAHANAN NASIONAL
1. Keuletan merupakan kualitas diri.
2. Ketangguhan adalah kualitas yang menunjukkan kekuatan atau kekokohan sebagaimana dipersepsikan dari luar oleh pihak lain.
3. Ancaman merupakan hal atau usaha yang bersifat mengubah kebijaksanaan dan dilaksanakan secara konsepsional kriminal serta politis.
4. Tantangan merupakan usaha yang bertujuan atau bersifat menggugah kemampuan.
5. Hambatan merupakan usaha yang bertujuan melemahkan secara tidak konsepsional yang berasal dari diri sendiri.
6. Gangguan adalah hambatan yang berasal dari luar yang bertujuan melemahkan secara tidak konsepsional.
7. Identitas adalah ciri khas suatu bangsa dilihat secara keseluruhan yang membedakannya dengan bangsa lain.
8. Integritas adalah kesatuan yang menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa, baik aspek alamiah maupun aspek sosial.
G. PENGERTIAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA.
Ketahanan Nasional Indonesia Adalah Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan megatasi Ancaman, Gangguan, Hambatan, Tantangan (AGHT) baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri untuk menjamin identitas, integritas dan kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapi tujuan nasionalnya.
Dalam Pengertian Tersebut Ketahanan nasional adalah konsisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dengan pembinaan sejak dini, sinergik dan kontinue, secara pribadi, keluarga, daerah dan nasional.Dengan Bermodalkan Keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, berdasarkan pemikiran geostrategis berupa : konsepsi yang dirancang dan dirumuskan dengan memperhatikan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia.
HAKEKAT KETAHANAN NASIONAL DAN KONSEPSI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Hakekat Ketahanan Nasional Indonesia = Keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup dan tujuan negara.
2. Hakekat Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia = Pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan nasional.
ASAS-ASAS KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Kesejahteraan dan keamanan
2. Komprehensif Integral (Menyeluruh Terpadu)
3. Mawas kedalam dan keluar
4. Kekeluargaan
SIFAT KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Mandiri = Percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian. Kemandirian merupakan prasyarat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan
2. Dinamis = Berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi lingkungan strategis.
3. Wibawa = Pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain.
4. Konsultasi dan Kerjasama = Sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
PENGARUH ASPEK KETAHANAN NASIONAL PADA KEHIDUPAN BERNEGARA
Ketahanan nasional merupakan gambaran dari kondisi sistem (tata) kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu. Tiap-tiap aspek relatif berubah menurut waktu, ruang dan lingkungan terutama pada aspek-aspek dinamis sehingga interaksinya menciptakan kondisi umum yang sulit dipantau karena sangan komplek.
Konsepsi ketahanan nasional akan menyangkut hubungan antar aspek yang mendukung kehidupan, yaitu:
1. Aspek alamiah (Statis)
a. Geografi b. Kependudukan c. Sumber kekayaan alam
2. Aspek sosial (Dinamis)
a. Ideologi
b. Politik
c. Ekonomi
d. Sosial budaya
e. Ketahanan keamanan
2. KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Perkembangan Ketahanan Nasional
Dewasa ini istilah ketahanan nasional sudah dikenal diseluruh Indonesia. Dapat dikatakan bahwa istilah itu telah menjadi milik nasianal. Ketahanan Nasional baru dikenal sejak permulaan tahun 60 an. Pada saat itu istilah itu belum diberi devenisi tertentu. Disamping itu belum pula disusun konsepsi yang lengkap menyeluruh tentang ketahanan nasional. Istilah ketahanan nasional pada waktu itu dipakai dalam rangka pembahasan masalah pembinaan ter itorial atau masalah pertahanan keamanan pada umumnya.
Walaupun banyak instansi maupun perorangan pada waktu itu menggunakan istilah ketahanan nasional, namun lembaga yang secara serius dan terus-menerus mempelajari dan membahas masalah ketahanan nasional adalah lembaga pertahanan nasional atau lemhanas. Sejak Lemhanas didirikan pada tahun 1965, maka masalah ketahanan nasional selalu memperoleh perhatian yang besar.
Sejak mulai dengan membahas masalah ketahanan nasional sampai sekarang, telah dihasilkan tiga konsepsi.Pengertian atau devenisi pertama Lemhanas, yang disebut dalam konsep 1968 adalah sebagai berikut :
Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara dan bangsa Indonesia.
Pengertian kedua dari Lemhanas yang disebut dalam ketahanan nasional konsepsi tahun 1969 merupakan penyempurnaan dari konspsi pertama yaitu :
Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan suatu bangsa yang mengandung kemampuan untuk memperkembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara Indonesia.
Ketahanan nasional merupakan kodisi dinamis suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguahan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional,didalam menghadapi didalam menghadapi dan mengisi segala tantangan, ancaman ,hambatan, serta gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas,identitas , kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mengejar perjuangan nasional.
Apabila kita bandingkan dengan yang terdahulu, maka akan tampak perbedaan antara lain seperti berikut :
a. Perumusan 1972 bersifat universal, dalam arti bahwa rumusan tersebut dapat diterapkan dinegara-negara lain, terutama di Negara-negara yang sedang berkembang.
b. Tidak lagi diusahakan adanya suatu devenisi, sebagai gantinya dirumuskan apa yang dimaksud kan dengan istilah ketahanan nasional.
c. Jika dahulu ketahanan nasional di identikkan dengan keuletan dan daya tahan , maka ketahanan nasional merupakan suatu kondisi dinamis yang berisikan keuletan dan ketangguhan, yang berarti bahwa kondisi itu dapat berubah.
d. Secara lengkap dicantumkan tantangan, ancaman , hambatan, serta ganguan.
e. Kelangsungan hidup lebih diperinci menjadi integritas, identitas, dan kelangsungan hidup.
Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jendral Suharto di depan siding DPR tanggal 16 Agustus 1975, dikatakan bahwa ketahanan nsional adalah tingkat keadaan dan keuletan dan ketangguhan bahwa Indonesia dalam menghimpun dan mengarahkan kesungguhan kemampuan nasional yang ada sehingga merupakan kekuatan nasional yang mampu dan sanggup menghadapi setiap ancaman d an tantangan terhadap keutuhanan maupun kepribadian bangsa dan mempertahankan kehidupan dabn kelangsungan cita-citanya.
Karena keadaan selalu berkembang serta bahaya dan tantangan selalu berubah, maka ketahanan nasional itu juga harus dikembangkan dan dibina agar memadai dengan perkembangan keadaan. Karena itu ketahanan nasional itu bersift dinamis, bukan statis.
Ikhtiar untuk mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh ini bukanlah hl baru bagi kita. Tetapiu pembinaan dan peningkatannya sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan fasililitas yang tersedi pula.
Pembinaan ketahanan nasional kita dilakukan dipelgai bidang : ideology , poluitik, ekonomi , sosial budaya dan hankam, baik secara serempak maupun menurut prioritas kebutuhan kita.
2. Perwujudan Ketahanan Nasional Indonesia dalan Trigarta
Untuk memberi gambaran umum tentang Indonesia, marilah kita membahasas dahulu dar segi aspek-aspek alamiah atau Trigatra dengan mulai meninjau :
a. Aspek lokasi dan posisi Geografis Wilayah Indonesia
Jikalau kita melihat letak geografis wilayah Indonesia dalam peta dunia, maka akan nampak jelas bahwa wilayah Negara tersebut merupakan suatu kepulauan, yang menurut wujud kedalam, terdiri dari daerah air dengan ribuan pulau-pulau didalamnya. Yang dalam bahasa asing bisa disebut sebagai suatu archipelago kelvar, kepulauan itu merupakan suatu archipelago yang terletak antara benua Asia disebelah utara dan benua Australia disebelah selatan serta samudra Indonesia disebelah barat dan samudra pasifik disebelah timr.
Berhubungan letak geografis antara dua benua dan samudra yang penting itu, maka dikatakan bahwa Indonesia mempunyai suatu kedudukan geograpis ditengah tengah jalan lalu lintas silang dunia. Karena kedudukannya yagn strategis itu, dipandang dari tiga segi kesejahtraan dibidang politik, ekonomi dan sosial budaya Indonesia telah banyak mengalami pertemuan dengan pengaruh pihak asing (akulturasi).
Menurut catatan Indonesia terdiri dari wilayah lautan dengan 13.667 pulau besar dan kecil, diperkirakan 3.000 pulau diantaranya yang dialami penduduk.
Luas pulau-pulau diperkirakn 735.000 mil persegi, sedangkn luas perairannya ditaksir 3 sampai 4 kali luas tanah (pulau-pulau). Jarak antara ujung barat sampai ujung timur adalah kira-kira 3.200 mil.
sumber :
- http://rnurinaramadhani.blogspot.com/2012/05/pengertian-ketahanan-nasional-indonesia.html
- http://khairulchaniago.wordpress.com/pengertian-arti-definisi-ketahanan-nasional-bangsa-negara
indonesia/
- http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/14/ketahanan-nasional-546126.html
Langganan:
Postingan (Atom)